Oleh Emil Salim
Seratus tahun lalu, tanggal 11 Februari 1911, di rumah pemrakarsa pertemuan, Rekna Puti, yang masih berusia 23 tahun, diselenggarakan pertemuan dipimpin oleh Ruhana (27 tahun). Pertemuan dihadiri 60 perempuan, empat orang ninik-mamak dan ulama.
Mereka sepakat membentuk perkumpulan ”Karadjinan Amai Satia” (KAS) di Kotogadang dengan tujuan: ”Memajukan perempuan di Kotogadang dalam berbagai aspek kehidupan untuk mencapai kemuliaan seluruh bangsa.” Rapat menyepakati pengurus dipimpin Ruhana (Ketua), Rekna Puti (Sekretaris), dan Hadisah, Adisah, Rabai, serta Fatimah sebagai komisaris.
Kotogadang adalah sebuah kampung kecil di tepi Lembah Ngarai dataran tinggi Agam, di hadapan kota Bukittinggi. Sejak abad ke-18, laki-laki merantau mencari ilmu, menjadi pandai emas, dan berdagang. Kaum perempuan, yang tinggal di kampung, waktu muda belajar agama dan adat istiadat, keterampilan menjahit, menyulam, bertenun, merenda, dan menata rumah. Waktu dewasa perempuan disiapkan menjadi istri dan ibu yang baik serta menantu yang sopan.
Protektif pada perempuan
Kehidupan sosial Minangkabau memberlakukan sistem matrilineal, pewarisan, dan kepala keluarga mengikuti garis keturunan ibu. Sedangkan adat istiadat Minangkabau bersendikan ajaran agama Islam. Keadaan ini menumbuhkan pola kehidupan sosial yang sangat protektif terhadap kaum perempuan. Apabila di zaman Kolonial Hindia Belanda sulit memperoleh pendidikan formal bagi kaum laki-laki, maka kondisi perempuan Minangkabau lebih sengsara lagi.
Baru tahun 1846, Residen Steinmetz membuka Sekolah Nagari di Bukittinggi. Banyak murid laki-lakinya berasal dari Kotogadang. Bahkan, pada tahun 1860-an, orang Kotogadang menjadi guru Sekolah Nagari Bukittinggi. Kesempatan berpendidikan ini mendorong para laki-laki Kotogadang melanjutkan pelajaran ke Pulau Jawa di sekolah lanjutan HBS (setingkat SMP-SMA), STOVIA (sekolah kedokteran), dan lain-lain. Akan tetapi, lagi-lagi kaum perempuan tertinggal di kampung tidak mengenyam pendidikan formal.
Ruhana adalah putri Muhammad Rasyad Maharajja Sutan, seorang Hoofd Jaksa yang paham makna pendidikan dan menjadikan rumahnya tempat sekolah, bermain, membaca buku, majalah, dan surat kabar. Maka Ruhana tumbuh dalam suasana intelektual sehingga mampu bicara dan menulis dalam bahasa Melayu dan Belanda.
Ruhana pun ikut ayahnya merantau ke luar Kotogadang dan berkenalan dengan berbagai keterampilan dan kerajinan tangan, seperti menyulam dan menganyam. Ketika tiba waktunya pulang ke kampung maka semangat belajar-mengajar terus dikembangkannya di Kotogadang.
Bahkan, setelah menikah (1908) dengan Abdoel Koeddoes, seorang notaris, penulis, dan aktivis pergerakan, semakin bersemangat Ruhana mendidik kaum perempuan Kotogadang. Namun, maksud baik ini ditanggapi keliru. Beberapa kalangan menentang karena dianggap merusak budi pekerti perempuan Kotogadang sehingga Ruhana dan suami terpaksa meninggalkan Kotogadang merantau ke Padang Panjang dan Maninjau.
Di Maninjau, Ruhana mendalami agama dan secara khusus mempelajari kedudukan perempuan dalam agama Islam dengan Buya Syech Abdul Karim bin Amarullah, ayah Buya Hamka.
Ketika Rekna Puti mengundangnya pulang ke Kotogadang dengan maksud mendirikan perkumpulan memajukan perempuan, Ruhana langsung meraih kesempatan ini. Begitu terpilih selaku ketua vereeniging (perkumpulan) Karadjinan Amai Setia Kotogadang (PK Amai Setia), ia segera membangun sekolah di rumahnya untuk belajar murid-murid perempuan.
Semangat pemberdayaan
Didampingi oleh anggota pengurus, Hadisah, ahli tenun dan saudagar tenun, ilmu pengetahuan umum yang diajarkan bergandengan dengan kerajinan tangan yang kemudian dijual di pasaran. Mulailah roda PK Amai Setia berputar sejak 1911, membangkitkan semangat pemberdayaan perempuan Minangkabau dengan ilmu dan keterampilan, menyalurkan daya kreativitas perempuan Kotogadang.
Ruhana diminta menjadi penulis tetap dan kemudian Pemimpin Redaksi Soenting Melajoe, Soerat Chabar Perempuan. Tercatatlah dalam sejarah persuratkabaran bahwa Ruhana Kudus adalah wanita pertama yang memimpin surat kabar. Soetan Maharajo, penerbit surat kabar Oetoesan Melajoe di Padang, tertarik membantu sirkulasi Soenting Melajoe sehingga surat kabar ini menjangkau wilayah Sumatera, Jawa, bahkan Malaka.
Melalui surat kabar ini, Ruhana Kudus dan PK Amai Setia menarik perhatian pemuka-pemuka Belanda di ibu kota Batavia (Jakarta). Mereka kemudian mengundangnya untuk ikut serta dalam Pameran Internasional di negeri Belanda untuk menunjukkan kreativitas hasil kerajinan tangan dari perempuan sebuah kampung Kotogadang yang fasih berbahasa Belanda.
PK Amai Setia juga berkembang pesat. Di bawah pimpinan generasi-generasi berikutnya, PK Amai Setia memperluas fasilitas pendidikan berupa Sekolah Kepandaian Puteri, vakschool (sekolah kejuruan), dan menghidupi industri kerajinan Kotogadang hingga ke kampung-kampung lain Sumatera Barat.
Tercatat dalam sejarah PK Amai Setia bahwa Pemerintah Hindia Belanda memberi Bronzen Ster (Bintang Logam) kepada Hadisah selaku Ketua PK Amai Setia (1941), Penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto (1987) masa kepengurusan Moesnia Effendi, dan Penghargaan Kebudayaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2007) masa kepengurusan Agusnar Masfar.
Perkembangan PK Amai Setia naik dan turun dipengaruhi pergolakan politik Sumatera Barat. Namun, perkumpulan tetap berdiri tegar memberdayakan harkat perempuan agar mampu mengaktualisasikan diri dengan ilmu, bakat, kemampuan, dan daya kreativitasnya. Kekayaan ilmu dan keterampilannya telah menciptakan hasil sulaman, tenun, dan renda khas Kotogadang, mengisi kekayaan budaya Indonesia. Semua berkat perjuangan gigih wanita perkasa Minangkabau selama seratus tahun ini.
Emil Salim Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1983-1993), Pembina Ruang Pendidik INS Kayutanam
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/21/04114169/100.tahun.pemberdayaan
0 comments:
Posting Komentar