Oleh F Rahardi
Ledakan populasi ulat bulu belakangan ini sebenarnya bukan ancaman serius bagi sektor agro, lingkungan hidup, apalagi kesehatan manusia. Itulah fobia yang akan merugikan si penderita.Akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an, Indonesia kesulitan pangan. Warga masyarakat biasa mengonsumsi pupa ulat avokad. Padahal, ulat avokad adalah jenis ulat bulu yang cukup besar dengan penampilan ”seram”. Panjangnya sekitar 5 sentimeter, warna tubuh hitam, bulu putih, kepala dan kaki merah, dan ada garis membujur yang juga berwarna merah di kedua sisinya. Akan tetapi, pupa yang disangrai sangat gurih dan kaya protein. Terlebih kepompongnya yang berbentuk jaring dan berwarna emas sekarang banyak dicari perajin sebagai bahan industri aksesori.
Tidak semua kepompong ulat avokad dipanen untuk dimakan pupanya. Pupa yang tersisa akan menetas jadi kupu-kupu indah. Andaikan semua ulat bulu yang ada sekarang ini selamat menjadi pupa dan kupu-kupu, ruang terbuka republik ini akan semarak dengan aneka kupu-kupu warna-warni.
Minggu lalu, di lahan garapan Kelompok Tani Lestari Griya Karmel di Purwakarta, saya melihat banyak sekali kupu-kupu kuning beterbangan berpasang- pasangan. Saya yakin sekarang anak ulat bulu sudah mulai memangsa apa saja yang hijau di kawasan tersebut.
Metamorfosis
Manusia memang selalu menyimpan paradoks dalam dirinya. Ulat, terlebih ulat bulu, sangat dibenci. Sementara keindahan kupu-kupunya dikagumi. Padahal, ulat tidak menyebarkan penyakit mematikan seperti nyamuk. Ketakutan terhadap ulat bulu sudah cukup serius hingga bisa disebut fobia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fobia diartikan sebagai ketakutan yang sangat berlebihan terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya. Ketika kelompok ulat bulu merayapi dinding sekolah, kepala sekolah segera meliburkan para murid, bukannya menjelaskan bahwa ulat adalah larva kupu-kupu dan tidak berbahaya.
Semua ulat bulu memang akan bermetamorfosis jadi pupa, kemudian kupu-kupu. Sementara ulat tak berbulu akan menjadi moth, kupu-kupu malam, rama-rama, atau pijer (Jawa).
Penampilan moth tidak seindah kupu-kupu. Moth tidak akan beterbangan ke sana kemari seperti halnya kupu-kupu. Warna moth juga cenderung coklat atau abu-abu kusam, beda dengan kupu-kupu yang berwarna-warni cerah dan menarik. Spesies moth di dunia yang mencapai 150.000-250.000 spesies juga 10 kali lipat dibandingkan dengan kupu-kupu yang hanya 15.000-20.000 spesies.
Menghadapi fenomena ledakan populasi ulat bulu, dunia pendidikan telah salah menanamkan perilaku cinta lingkungan kepada anak-anak. Terlebih ketika para guru memerintahkan anak-anak membeli racun serangga dan menyemprotkannya ke kelompok ulat bulu tersebut. Dunia pertanian juga seperti kalang kabut mempermasalahkan ledakan populasi ulat bulu.
Padahal, hujan yang terus turun berkepanjangan selama tahun 2010 lebih merugikan petani daripada ledakan populasi ulat bulu sekarang ini. Sebab, yang lebih banyak diserang ulat bukan tanaman semusim, melainkan tanaman tahunan. Pengetahuan seperti inilah yang seyogianya disampaikan kepada anak-anak sekolah, bukannya menggiring mereka ke arah fobia.
Siklus alam
Tahun 2010, hujan memang turun berkepanjangan tanpa ada kemarau sedikit pun. Dalam kondisi seperti ini, siklus hidup kupu-kupu tidak terputus. Biasanya pada musim kemarau kupu-kupu hanya bertahan di lingkungan yang benar-benar sangat basah.
Tahun lalu, kupu-kupu bisa terus bertahan hidup di semua lingkungan karena hampir tak ada kemarau. Dampak dari kondisi ini, pertumbuhan vegetatif tanaman tak terhenti dan pertumbuhan generatifnya justru terganggu. Akhir 2010 dan awal 2011, tak ada panen raya mangga, durian, rambutan, manggis, dan lain-lain. Para petani buah gigit jari. Kedatangan ulat bulu kali ini sebenarnya justru akan membantu petani buah.
Akhir 1950-an dan awal 1960- an, sehabis panen pupa ulat avokad, biasanya masyarakat juga akan memanen buah avokad dalam volume sangat besar. Sebab, avokad justru akan berbuah lebat setelah semua daunnya habis dimangsa ulat bulu yang menyeramkan itu.
Akan tetapi, kondisi tahun 2011 tentu beda dengan 1960-an. Sekarang Indonesia sangat makmur. Mal berdiri di mana-mana dengan McDonald’s, KFC, Pizza Hut, dan Hokben. Anak-anak pasti merasa sangat jijik apabila tahu bahwa generasi pendahulu mereka pernah mengonsumsi pupa ulat bulu. Bahkan sampai saat ini pun masyarakat di sekitar hutan jati masih menikmati pupa ulat jati yang gurih itu.
Belakangan ini siklus alam secara normal memang terganggu akibat pemanasan global yang disebabkan oleh pembakaran BBM dan batu bara berlebihan. Selain itu, predator alami ulat, terutama spesies kepik, juga ikut terbasmi oleh pestisida pabrikan yang massal. Penangkapan burung untuk tujuan komersial pun memicu peningkatan populasi ulat. Burung prenjak dan ciblek, misalnya. yang selama ini menjadi pemangsa ulat adalah komoditas bernilai tinggi. Di negeri ini, masyarakat tidak sekadar mudah dihinggapi fobia, tetapi juga gampang tergoda hobi yang sadis: mengurung burung seumur hidup tanpa diberi jodoh.
Bukan dagelan
Banyak kalangan yang menyebut perusakan lingkungan, karut-marut politik, dan krisis ekonomi belakangan ini sebagai dagelan. Kalau ada anggota parlemen dalam sidang paripurna sibuk menonton pornografi, itu sebenarnya tragedi, bukan lelucon.
Maka, pentas komersial Laskar Dagelan, meskipun laris manis, sebenarnya bukan pendekatan cerdas untuk solusi bagi tragedi republik ini. Sebab, permasalahan Indonesia yang kita hadapi sudah sangat serius. Saat ini yang rusak bukan sekadar alam dan lingkungan, melainkan juga moralitas para pemimpin.
Kemiskinan yang masih terus diderita oleh sebagian besar masyarakat jelas bukan dagelan, melainkan tragedi akibat kerakusan para anggota eksekutif, legislatif, yudikatif, dan aparat penegak hukum. Indonesia saat ini ibarat republik hantu. Masyarakat mudah sekali terserang fobia oleh sesuatu yang sebenarnya tidak benar-benar membahayakan.
Demikian pula para pemimpinnya, mereka juga mudah sekali terkena fobia untuk hal-hal yang belum tentu benar. Presidennya takut dimakzulkan, menterinya takut di-reshuffle, dan partai politiknya takut dikeluarkan dari koalisi. Itu semua sudah jadi fobia nasional.
Di republik hantu, ulat bulu tidak dianggap sebagai berkah untuk menyeimbangkan alam, tetapi sebagai tulah kesebelas. Sebab, Firaun yang dikutuk oleh Allah pada zaman Nabi Musa hanya diberi 10 tulah. Padahal, ulat bulu bukan tulah. Mereka akan jadi pupa dan kupu-kupu. Pohon mangga, jambu, dan avokad yang daunnya habis dijamin akan berbuah lebat pada akhir 2011.
Fobia terhadap apa pun pada akhirnya akan merugikan si penderita. Terlebih bila fobia itu terjadi secara massal dan berkepanjangan seperti di republik hantu ini.
F Rahardi Sastrawan, Bergiat di Forum Kerja Sama Agrobisnis
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/19/04453719/fobia.ulat.bulu.di.republik.hantu
0 comments:
Posting Komentar