Getty Images/Chris Hondros
Anggota pasukan oposisi merayakan kesuksesan rekannya menembak pasukan Pemerintah Libya yang menolak menyerah dan berlindung di sebuah bangunan dalam pertempuran darat di Jalan Tripoli, Misrata, Rabu (20/4). Peperangan memperebutkan kota itu terus berlanjut.
Aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara akhirnya mengakui tidak mudah melawan pemimpin Libya, Moammar Khadafy. Namun, para pemimpin Barat, termasuk Amerika Serikat, dan oposisi Libya terus saja mendesaknya turun. Diserang pakai senjata saja Khadafy masih tangguh, bagaimana mungkin dia mau turun hanya karena desakan-desakan verbal.
Sebagai pelopor revolusi Libya, Khadafy, yang sejak berkuasa pada 1 September 1969 menyebut dirinya ”pemimpin revolusi”, bersumpah untuk berperang hingga ”orang terakhir” dan ”tetes darah terakhir”.
Mustahil Khadafy turun begitu saja hanya karena pernyataan, ancaman, dan desakan pemimpin Barat itu. Desakan Perancis, Inggris, dan AS agar Khadafy turun diabaikan seperti angin lalu. Dia bahkan terus melakukan operasi yang sejak awal perang disebutnya serangan ”dari rumah ke rumah” dan ”sedikit demi sedikit”.
Buktinya, seperti dilaporkan AFP, polisi rahasia Khadafy memburu para ulama dari masjid ke masjid di seantero negeri. Ulama yang berkhotbah menentangnya ditangkap, diculik, dan ditahan. Bahkan, ada yang hilang begitu saja dan dibunuh. Begitu pula dengan para pemimpin aksi protes massa dan aktivis sosial yang menggelorakan perlawanan terhadap rezim Khadafy.
Aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang melakukan operasi penegakan zona larangan terbang di atas Libya kini pun menyerah. Komandan operasi NATO di Libya, Brigadir Jenderal Mark van Uhm, Selasa (19/4), mengatakan, memang tidak mudah melawan Khadafy. Uhm berbicara dalam konteks pertempuran Misrata, satu-satunya basis oposisi di Libya barat.
Hingga Rabu, loyalis Khadafy bahkan intens menggempur Misrata untuk menghancurkan oposisi. Kota-kota lain di Libya barat, seperti Zintan, Zawiya, Sirte, dan Nalut, yang sempat dikuasai oposisi telah direbut kembali oleh pasukan Khadafy.
Rumah sakit di Misrata kelimpahan mayat dan korban luka-luka. Organisasi Kesehatan Dunia terpaksa harus mengevakuasi 120 pasien dari rumah sakit itu karena serangan dari kubu loyalis Khadafy menyasar ke berbagai tempat, termasuk ke sekitar rumah sakit.
Kubu oposisi yang berusaha menggempur Tripoli, basis Khadafy, justru telah dipatahkan dengan mudah. Oposisi kini hanya menguasai Benghazi dan beberapa kota di Libya timur. Kota lain di timur, seperti Ras Lanuf dan Brega, telah dikuasai Khadafy lagi meski NATO terus menyerangnya sejak 19 Maret lalu.
Aliansi NATO sudah lama retak. Kini hanya Perancis dan Inggris yang ngotot mengirimkan pasukan dan armadanya membantu oposisi. Mereka juga mulai kewalahan karena biaya operasional aksi militer di Libya bisa Rp 2,7 miliar sampai Rp 4 miliar per hari. Jelas bukan dana yang kecil.
Kewalahan
NATO saja kewalahan, apalagi kubu oposisi yang serba terbatas sumber dayanya, baik personel maupun senjata. Gagal mengusir Khadafy lewat serangan udara, Inggris bahkan berencana melakukan serangan darat. Perancis, yang setia dengan Inggris sejak awal, kini bersatu dengan Italia menolak ide itu.
Menteri Luar Negeri Perancis Alain Juppe mengatakan, dia ”benar-benar menentang” ide melakukan serangan darat sebab tidak ada klausul itu dalam Resolusi DK PBB Nomor 1973, yang terbit 17 Maret. Resolusi hanya menyebutkan, anggota dimungkinkan mengambil ”tindakan yang diperlukan” demi melindungi warga sipil.
Jika ”tindakan yang diperlukan” itu ditafsirkan lebih luas, misalnya memakai serangan darat, jelas akan timbul persoalan baru. Selain bertentangan dengan resolusi, hal itu juga bisa berarti upaya ”pendudukan” atas Libya. Kasus Irak dan Afganistan bisa terulang di sini.
Langkah Inggris mengirim 20 tenaga ahlinya ke Benghazi untuk melatih anggota pasukan oposisi dikecam rezim Khadafy. Inggris dituding hendak mendukung ”pemberontak” yang diidentifikasi sebagai teroris Al Qaeda. Sampai kini Barat belum pernah mengidentifikasi kelompok mana yang akan mereka bantu. Bisa-bisa bantuan menyasar ke Al Qaeda.
Harus diakui, oposisi lemah karena tidak terorganisasi dengan baik. Khadafy tahu itu sehingga dia takkan mau turun begitu saja. Jika Khadafy diturunkan paksa, berakhir damaikah krisis Libya? Tampaknya sulit sebab di dalam kubu oposisi ada banyak faksi dengan beragam ambisi. Misalnya, ada yang ingin membentuk negara Islam, demokrasi liberal, ataupun demokrasi parlementer.
Berita terbaru, Pemerintah Libya mungkin akan menggelar pemilu, termasuk untuk menentukan masa depan Khadafy. Pemilu dapat digelar jika NATO menghentikan serangan. ”Jika aksi pengeboman dihentikan, enam bulan setelahnya pemilu bisa digelar dalam pengawasan PBB,” kata Menteri Luar Negeri Libya Abdul Ati al-Obeidi.
(AFP/AP/REUTERS/CAL)Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/21/04352381/takkan.mungkin.khadafy.turun
1 comments:
mantap bahasannya
Posting Komentar