Kamis, 21 Juli 2011

Demokrasi yang Dibajak para Bandit



Judul Buku: Negara dan Bandit Demokrasi
Penulis : I. Wibowo
Penerbit: Buku Kompas
Tebal buku: 132 Halaman
Cetakan :  2011


Kurang lebih satu dasawarsa kita mendorong demokrasi untuk tumbuh dan berkembang di republik ini. Dengan harapan kemakmuran lekas dinikmati masyarakat. Namun, hingga kini kesejahteraan tak kunjung datang. Malahan yang terjadi wakil-wakil rakyat tersebut mulai abai terhadap nurani rakyat.

Pernyataan Ketua DPR mengenai kontroversi pembangunan gedung baru “rakyat biasa jangan diajak membahas pembangunan gedung baru, hanya orang-orang elite, orang-orang pintar yang bisa diajak membicarakan masalah itu”. Bukti sahih, mereka sudah lupa dengan rakyatnya.Sebuah pernyataan yang melukai hati rakyat dan mungusik kesadaran nurani rakyat. Pernyataan Ketua DPR jelas memberikan gambaran mewakili siapakah mereka di DPR.

Tetapi, inilah produk dari sistem demokrasi. Demokrasi yang kita gadang-gadang sebagai sistem terbaik dalam urusan mengelola negara. Hasilnya, demokrasi belum menghasilkan apa-apa bagi rakyat, kecuali kemakmuran kelompok-kelompok pemenang. Rakyat telah dikhianati dengan slogan dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat. Demokrasi bukan membawa rakyat mendekati kemakmuran, namun membawa rakyat dalam kubangan nasib yang semakin memprihatinkan.

Demokrasi telah dibajak oleh para preman-preman politik untuk memenuhi kepentingan dirinya. Dengan logika ‘mumpung’ berkuasa. Mereka jarah seluruh kekayaan negeri. Mereka tak ubahnya garong-garong berdasi, yang hidup diatas penderitaan rakyat. Mereka lebih kejam dari yang kita bayangkan.
Demokrasi yang kita harapkan melahirkan khazanah peradaban yang bermartabat, menyehatkan, mencerahkan dan memakmurkan rakyat. Nyatanya, memproduksi politisi-politisi perampok. Perampok intelek yang bekerja dengan cerdas dan cerdik memanfaatkan rakyat. Demokrasi hanya menghasilkan kehampaan, karena telah di rampok para bandit.

Demokrasi kini telah menjelma menjadi hedonisme politik yang tiranik. Hal ini dapat kita ukur melalui otoritas politik disalahgunakan, kepercayaan rakyat dikhianati, suara rakyat dibungkam, fungsi representasi direduksi, kesejahteraan rakyat jadi kesenangan diri, kewenangan amanah rakyat berubah menjadi kesewenang-wenangan, ketika rakyat hanya dijadikan alat untuk meraih kekuasaan.
Buah demokrasi yang tengah berjalan di Indonesia yang tak kunjung membawa kemakmuran. Seakan menjawab rasa pesimistis Almarhum I. Wibowo mengenai demokrasi sebagai kampiun penyelamat kebobrokan sistem politik.

Menurutnya, kenapa kita harus capai-capai bicara tentang demokrasi, padahal demokrasi tidak akan membawa kita ke pintu gerbang kemakmuran, bukankah itu sama dengan buang energi percuma ?( hlm. 27)
Padahal, banyak catatan ahli demokrasi yang menyebut demokrasi bukanlah sistem yang pantas untuk dicita-citakan. Sebab, demokrasi banyak menghasilkan problem-problem baru yang menghalangi kesejahteraan. Menggunakan hasil penelitian Robert Kaplan, Marcur Olson, Amy Chua dan Noreena Herzt. I. Wibowo menyimpulkan bahwa demokrasi tidak layak untuk diterapkan di negeri ini.

Dari Kaplan, Wibowo menjelaskan bahwa demokrasi tidak akan berkembang di negera berkembang yang mempunyai basis partai politik suku atau agama, keduanya tidak akan dapat diakomodasi oleh demokrasi yang berdasarkan nilai toleransi. Sedangkan politik suku atau agama biasa saling menegasikan.
Menggunakan pendekatan Marcur Olson, I Wibowo menambahkan perspektif fenomena demokrasi dengan sebuah pertanyaan, kenapa setelah pemerintah yang buruk kemakmuran tidak kunjung datang ?. Olson menerangkan fenomena ini karena adanya bandit berkeliaran ( roving bandits) dan bandit menetap ( stationary bandits). Keduanya sama-sama jahat, namun kejahatan mereka memiliki pola yang berbeda.

Bandit berkeliaran adalah jenis bandit yang mendatangi suatu tempat menjarah daerah tersebut, lalu pergi. Pola kerja mereka berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah lain untuk menguras kekayaan tempat yang mereka singgahi.

Sedangkan bandit menetap adalah seorang bandit yang memiliki kekuasaan. Ia menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya dirinya namun ia tetap menjaga wilayahnya. Memberi kesempatan pada rakyatnya untuk maju dan berkembang. Sehingga, ia berkesempatan untuk menarik pungutan dan membuat rakyat sangat bergantung pada penguasa.

Era orde baru merupakan salah satu periode bandit menetap. Soeharto berkuasa dengan pengaruh yang sedemikian kuat. Membuat semua orang bergantung padanya. Membikin semua orang tenang, nyaman, dan merasa makmur di bawah kuasanya. Namun, dibalik kemurahan kekuasaanya, ia menggunakan untuk memperkaya diri dan keluarganya.

Model kepemimpinan bandit menetap terselubung dengan bangunan citra stabilitas yang dikembangkan. Bahkan, kita bisa merasakan, setelah kejatuhannya dari tampuk kuasa, ketika kemakmuran yang didengungkan dari era reformasi tidak kunjung datang. Orang merasa lebih enak hidup di zaman kepemimpinannya.

Menurut Olson, setelah era bandit menetap runtuh. Era bandit berkeliaran-lah yang muncul. Fenomena politisi-politisi bandit sangat terlihat dari perilaku para politisi kita. Yang memanfaatkan jabatan mereka untuk memperkaya diri dan kelompoknya saja. Mereka sadar hidup diera yang demokratis seperti ini,  menjabat maksimal dua periode. Sehingga, kesempatan menjadi penguasa mereka pergunakan untuk mengarong kekayaan negara. Apalagi, ketika biaya politik mereka untuk duduk di dewan belum impas. Maka, tidak ada pilihan lain untuk terus menguras uang negara.

Selanjutnya, dari analisa Chua, ia mengatakan bahwa demokrasi yang di terapkan secara bersama dengan liberalisme pasar akan membuat kompetisi yang tidak sehat. Keduanya merupakan ramuan dua obat kuat yang bisa saling membunuh bila diterapkan secara bersamaan. Kelompok minoritas yang menguasai sektor-sektor ekonomi akan sangat di untungkan dengan kebijakan ekonomi pasar. Namun, ketidakadilan tersebut bisa dibalas kelompok mayoritas melalui sistem demokrasi yang didasarkan sistem voting ( hlm.32)
Berangkat dari beberapa analisa tersebut, I. Wibowo, menyimpulkan bahwa demokrasi bukanlah sebuah sistem yang paling ampuh untuk mencapai kemakmuran.

Namun, menurutnya, berbagai kritik yang muncul dari perdebatan mengenai demokrasi harus diubah menjadi usulan praktis dalam upaya memperbaiki sistem politik yang ada di Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan artikel yang ditulisnya pada rentang 2003-2010 yang benang merahnya bercerita tentang demokrasi dan masa depan masyarakat China.

Kritik-kritik mengenai pelaksanaan demokrasi di Indonesia patut menjadi renungan kita untuk terus memperbaharui konsep praktis demokrasi. Bukan memaafkan demokrasi yang pelaksanaanya berjalan tertatih-tatih, namun kita wajib menyempurnakannya dalam konsep ke-Indonesia-an kita guna menggapi kemakmuran yang dicita-citakan.

Peresensi: Ahan Syahrul, Pegiat pada Rumah Baca Cerdas Malik Fadjar Malang
sumber : okezone

0 comments:

Posting Komentar