Kamis, 28 April 2011

Beragama Transaksional

Oleh Bukhari Yusuf

Spirit dan esensi beragama bagi setiap Muslim adalah menerima dengan tulus secara total seluruh ajaran Allah SWT dan mendakwahkan kembali kepada manusia baik suka maupun duka, senang maupun susah, kaya maupun papa.

Cara beragama yang demikian itu akan membawa pribadi Muslim yang istikamah, pantang menyerah dalam mengarungi gelombang. Hal itu dapat memelihara stabilitas keimanan dan keutuhan ganjaran seluruh amal saleh yang telah dikerjakannya hingga hari pembalasan nanti. "Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS al-An'am [6]: 162).

Namun, ketika cara beragama bagi seseorang tidak tegak di atas ketundukan dan ketulusan, namun berdasarkan asas manfaat, maka kondisinya akan sangat berbeda. Istikamah terlihat ketika ada manfaat. Tetapi segera sirna dan berbalik ke belakang ketika ujian datang dan manfaat mulai jauh dari harapan.

Allah menggambarkan tipe orang yang beragama semacam ini seperti orang yang berada di pinggiran. "Di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. Jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu. Dan jika ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Maka, ia merugi di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata (QS al-Hajj [22]: 11).

Jumhur al-mufassirin memaknai kata 'di tepi' sebagai sikap ragu dan labil. Selain ragu, menurut al-Samarqandi, amal ibadah dilakukan atas dasar ria, bukan karena Allah SWT. Kondisi mereka yang berada di tepi agama, digambarkan oleh al-Baidhawi seperti tentara yang berada dalam barisan pinggir. Apabila melihat tanda-tanda kemenangan, dia tetap bergabung. Manakala melihat sebaliknya, dia segera melarikan diri dan berbalik arah.

Cara beragama semacam ini dapat disebut beragama transaksional, yang tentu saja sangat rapuh. Amal dan dakwah yang dilakukan amat dipengaruhi oleh perhitungan untung rugi serta manfaat dan maslahat yang akan diperoleh. Semua terkait dengan kompensasi duniawi semata.

Sebagai akibatnya, sedikit stimulan saja mudah membuat goyah. Nilai-nilai keimanan yang sebelumnya dijunjung tinggi mudah meredup ketika badai dan ujian datang. Berbagai amal dan ibadah yang sebelumnya dilakukan dengan semangat begitu cepat menghilang dan melemah saat fitnah dan ujian menimpa. Bahkan, dakwah berikut jamaah dan komunitasnya yang sebelumnya dibina, dibela, dan diperjuangkan mati-matian akan mudah ditinggalkan lantaran rasa kecewa yang menghinggapi jiwa.

Ketulusan berubah menjadi kekecewaan, dukungan berubah menjadi kecaman, persahabatan berubah menjadi permusuhan, loyalitas berubah menjadi pembangkangan, kesetiaan berubah menjadi pengkhianatan, nasihat berubah menjadi amarah, serta sikap membangun berubah menjadi sikap meruntuhkan.

Pada akhirnya, jangankan memberikan keuntungan dan kemaslahatan. Kondisi ini justru melahirkan kerugian baik di dunia maupun di akhirat. Naudzubillah.
Sumber http://koran.republika.co.id/koran/25, Kamis, 28 April 2011 pukul 09:33:00

0 comments:

Posting Komentar