Dharamsala, Kompas - Bangsa Tibet memasuki era baru setelah pemimpin mereka, Dalai Lama, memutuskan mengakhiri sistem politik yang sudah berjalan di negeri tersebut selama 369 tahun. Dalai Lama tak lagi menjadi pemimpin politik bagi bangsa Tibet.
”Keputusan saya sudah final. Ini semua demi masa depan institusi Dalai Lama dan demi kepentingan rakyat Tibet untuk jangka panjang,” tutur Dalai Lama kepada wartawan Kompas Dahono Fitrianto, dalam wawancara khusus di kediamannya di Dharamsala, India, Jumat (8/4).
Pemindahan kekuasaan secara resmi akan dilakukan pada Sidang Umum Rakyat Tibet yang digelar di Dharamsala, 28 Mei mendatang.
Dalai Lama menjelaskan, pada awal pembentukannya abad ke-15, institusi Dalai Lama memang tidak ditujukan untuk menjadi pemimpin politik. Institusi Dalai Lama menjadi pemimpin spiritual Tibet, pemimpin tertinggi, serta pemersatu empat aliran agama Buddha yang tumbuh di Tibet dan satu agama tradisional masyarakat Tibet, yakni agama Bon.
”Empat Dalai Lama yang pertama murni menjadi pemimpin agama. Tidak memiliki kekuasaan politik. Baru pada era Dalai Lama Ke-5, institusi ini menjadi kepala pemerintahan. Jadi sejak saat itu Dalai Lama menjadi pemimpin politik dan spiritual,” tutur Dalai Lama Ke-14 dengan nama Tenzin Gyatso ini.
Kepemimpinan Dalai Lama pun berlangsung turun-temurun menggunakan sistem reinkarnasi, yang menjadi salah satu kepercayaan dalam agama Buddha. Sistem tersebut, menurut Dalai Lama, secara umum telah memberikan pemerintahan yang stabil dan dicintai rakyat Tibet selama hampir empat abad.
Dalai Lama bahkan masih dianggap sebagai pemimpin de facto bagi sekitar 6 juta rakyat Tibet saat ini meski wilayah Tibet sendiri sejak 1951 sudah berada di bawah kekuasaan Republik Rakyat China.
Secara resmi peran dan kekuasaan politik Dalai Lama hanya sebatas memimpin pemerintahan Tibet dalam pengasingan atau Central Tibetan Administration (CTA) yang berpusat di Dharamsala, India.
Namun, sistem dwifungsi kepemimpinan tersebut dianggap sudah tak memadai lagi pada abad ke-21 ini. ”Sekarang, abad ke-21, era pemerintahan raja dan pemuka agama sudah lewat. Jadi dalam kesempatan ini, saat 99 persen rakyat Tibet masih percaya dan menghormati saya, saya dengan gembira dan secara sukarela menyerahkan seluruh kekuasaan politik kepada pemimpin terpilih,” tutur pemimpin karismatis yang sudah berusia 75 tahun ini.
Demokrasi terencana
Meski disampaikan dalam konteks politik Tibet, pernyataan Dalai Lama itu menjadi sangat relevan dengan apa yang sedang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara. Pergolakan rakyat yang terjadi di wilayah tersebut membuktikan, era kekuasaan raja dan segala jenis penguasa absolut lainnya memang sudah berakhir.
Pengumuman pengunduran diri Dalai Lama dari panggung politik Tibet disampaikan pada peringatan 52 tahun Hari Kebangkitan Nasional Tibet, 10 Maret lalu. Proses ini pun menandai puncak demokratisasi politik Tibet yang sudah dirancang sejak 1960-an.
Tibet bahkan sudah menerapkan eksperimen demokrasi selama 10 tahun sejak menggelar pemilu pertama untuk memilih kalon tripa atau ketua kabinet pada 2001. ”Sejak itu posisi saya sebenarnya sudah semipensiun. Sekarang 10 tahun sudah berlalu, dan (proses) demokrasi kami harus dituntaskan,” ujar Dalai Lama.
Meski demikian, tetap saja keputusan tersebut mengejutkan rakyat Tibet, yang merasa belum siap ditinggalkan pemimpinnya. ”Keputusan ini sangat sulit dicerna rakyat Tibet karena kami sudah (telanjur) terkondisi untuk bergantung kepada para Dalai Lama,” ungkap Samdhong Rinpoche, Kalon Tripa CTA yang sudah terpilih dua kali sejak 2001.
Dawa Tsering (25), seorang aktivis di Tibet yang baru saja meloloskan diri ke Dharamsala, mengaku sangat khawatir saat mendengar pengumuman pengunduran diri Dalai Lama tersebut.
Namun, setelah mendengar penjelasan langsung Dalai Lama dalam ceramah publik pada 19 Maret, Tsering mengaku bisa memahami keputusan itu. ”Yang Mulia meyakinkan kami bahwa akan ada kepemimpinan yang lebih kapabel setelah ini,” ungkapnya.
Prestise internasional
Transisi demokrasi di Tibet ini, lanjut Dalai Lama, akan mengangkat prestise bangsa Tibet di dunia internasional. Saat di negara-negara lain perjuangan menuju demokrasi sering harus diawali dengan kekacauan atau bahkan pertumpahan darah, transisi demokrasi di Tibet berjalan dengan damai dalam sebuah kerangka pemikiran yang sudah dirancang jauh-jauh hari.
Selain itu, pengunduran diri Dalai Lama dari urusan politik akan membuktikan kepada dunia bahwa tuduhan China selama ini salah. Pemerintah China selalu berusaha menunjukkan bahwa masalah di Tibet sudah selesai dan satu-satunya masalah dari Tibet adalah ambisi pribadi Dalai Lama.
”Para pemimpin komunis garis keras di China selalu menganggap tak ada masalah lagi di Tibet. Satu-satunya masalah adalah saya, Dalai Lama,” ungkap pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 1989 ini.
Dengan mundur sepenuhnya dari panggung politik, Dalai Lama menunjukkan bahwa ia tak punya kepentingan pribadi dalam perjuangan hak-hak rakyat Tibet selama ini.
Dalai Lama juga menegaskan, pengunduran dirinya dari politik ini tak akan membuat perannya dalam mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan dan keharmonisan kehidupan beragama di dunia akan ikut surut. ”Tidak. Saya justru akan punya waktu lebih banyak untuk melakukan semua itu. Dua hal sudah menjadi komitmen saya kepada dunia, yakni mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan demi kebahagiaan dunia serta mempromosikan harmoni kehidupan beragama,” tutur Dalai Lama.
0 comments:
Posting Komentar