Jaya Suprana
Sebenarnya dalam kegiatan menulis naskah kritik-sosial, apalagi kritik-politik, saya sudah terbiasa dengan peran anjing menyalak kafilah berlalu. Artinya tidak dipedulikan pihak yang dikritik, apalagi yang kebetulan sedang berkuasa.Maka saya tidak terlalu mengharap munculnya kepedulian terhadap naskah saya, ”Istana DPR dan Rumah Rakyat”, yang dimuat Kompas (29/1).
Apalagi mengingat naskah itu kebetulan mengandung kekeliruan hitung pembandingan biaya istana DPR yang triliunan rupiah dengan rumah rakyat yang belasan juta rupiah akibat saya gagap angka alias tidak mampu menghitung.
Namun, harapan saya (agak) keliru sebab ternyata naskah tersebut membawa saya untuk berperan sebagai anjing menyalak, kafilah melirik.
Kepedulian
Mungkin justru akibat kekeliruan hitung naskah ”Istana DPR dan Rumah Rakyat” malah menjadi lebih menarik perhatian.
Di luar dugaan, para anggota DPR yang diyakini oleh Ketua DPR Marzuki Alie semua sepakat bulat menyetujui pembangunan gedung baru DPR dengan anggaran biaya Rp 1,138 triliun itu, ternyata satu per satu menyuarakan hati nurani masing-masing.
Suara nurani mereka tidak selaras dengan pernyataan Ketua DPR sebab semua menyatakan tidak setuju. Masih begitu banyak rakyat yang mereka wakili—yang membuat mereka nyaman duduk di takhta singgasana DPR—terbukti belum memiliki tempat berteduh yang layak.
Bagi yang tidak percaya kepapaan kondisi papan rakyat masa kini, silakan bertanya bukan kepada rumput bergoyang, melainkan kepada mereka yang nyata-nyata berjuang untuk kesejahteraan rakyat tanpa duduk di DPR.
Sebutlah Romo Sandyawan, Wardah Hafidz, Ibu Kembar, dan sekian banyak pejuang kemanusiaan di Indonesia.
Memang kafilah baru pada kondisi melirik, belum menoleh, apalagi berhenti berlalu untuk membelai kepala sang anjing menyalak dan kemudian mewujudkan kepeduliannya.
Pernyataan nurani tidak setuju baru terdengar sporadis dari beberapa anggota faksi (yang masih saja keliru disebut fraksi) DPR, seperti PDI-P, Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Mereka menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap pembangunan istana DPR saat begitu banyak rakyat masih sengsara memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Ada pula anggota DPR yang satu partai dengan Ketua DPR yang lebih baik namanya tidak saya sebutkan di sini demi kepentingan karier politis dirinya, secara pribadi langsung kepada saya menyatakan bahwa sebenarnya dirinya tidak setuju atas pembangunan gedung baru DPR. Namun, apa boleh buat, dia terpaksa tunduk pada keputusan Ketua DPR yang menyatakan sudah mengantongi persetujuan segenap faksi DPR.
Sidang paripurna
Saya yakin Ketua DPR tidak berani gegabah dengan mengakui bahwa rencana pembangunan istana DPR itu sudah disetujui segenap faksi DPR. Namun, saya berharap semua keputusan DPR, apalagi yang langsung terkait dengan kepentingan rakyat, pada hakikatnya harus setiap saat siap ditinjau kembali asal benar-benar demi kepentingan rakyat.
Dengan demikian, keputusan membangun istana DPR senilai hampir 1,2 triliun rupiah—yang jelas-jelas bukan demi kepentingan rakyat, melainkan sekadar demi kepentingan para wakil rakyat—sebenarnya senantiasa bisa setiap saat ditinjau kembali untuk dibatalkan atau minimal ditunda sampai masa yang lebih tepat demi menghormati dan menghargai kepentingan rakyat.
Tanpa melalui survei, saya yakin tidak ada rakyat—apalagi yang belum memiliki rumah sendiri—setuju para wakilnya menghamburkan anggaran negara Rp 1,138 triliun bukan demi membangun perumahan sederhana untuk puluhan ribu keluarga rakyat miskin, apalagi masih ada gedung lama yang terbukti masih mampu menampung kegiatan DPR.
Alangkah indahnya apabila mereka yang bersikeras ingin membangun gedung baru DPR berkenan sejenak sedikit melirik realitas kondisi perumahan rakyat, terutama di kawasan kumuh.
Selama mereka masih memiliki apa yang disebut hati nurani, dapat diyakini kenyataan penderitaan rakyat yang sama sekali tidak selaras dengan gemerlap istana DPR yang sedang dipaksakan untuk dibangun.
Alangkah indahnya setelah melirik kesengsaraan rakyat, langsung segenap anggota DPR sepakat dan bersatu padu menyelenggarakan sidang paripurna untuk resmi membatalkan, menunda, atau meninjau kembali rencana pembangunan gedung baru DPR dengan anggaran berapa pun.
Alangkah indahnya apabila Ketua DPR dapat tercatat dalam lembaran sejarah Republik Indonesia sebagai Ketua DPR yang berkenan berani membatalkan keputusan DPR yang sudah resmi disetujui segenap faksi DPR demi lebih menjunjung tinggi kepentingan rakyat yang nyata ketimbang kepentingan wakil rakyat!
Tidak perlu khawatir sinis dituduh pencitraan selama semua benar-benar merupakan pengabdian tulus untuk menunaikan amanat penderitaan rakyat!
Jaya Suprana Budayawan
sumber http://cetak.kompas.com/read/2011/04/09/04434523/menimbang.nurani.wakil.rakyat
0 comments:
Posting Komentar