Reza Syawawi
Siapa pun yang mendukung pembangunan gedung baru DPR adalah golongan manusia tak beradab. Demikian pernyataan yang begitu keras dilontarkan sejumlah tokoh lintas agama menyikapi polemik pembangunan gedung baru DPR (5/4). -
Namun, hal ini tak mengubah sikap DPR sama sekali. Rapat konsultasi pimpinan DPR dan pimpinan fraksi akhirnya memutuskan untuk tetap melanjutkan pembangunan ( Kompas , 8/4). Kritik keras dan penolakan publik yang begitu kuat ternyata tak meluluhkan ”kepala batu” anggota DPR. Bahkan, intervensi presiden sekalipun tak memecah kebuntuan komunikasi DPR dengan rakyat. Padahal, Presiden jelas menyatakan agar ditunda dan bahkan dibatalkan jika tidak jelas urgensinya ( Kompas , 8/4).
Di internal DPR, pembangunan gedung baru hanya menuai penolakan dari beberapa fraksi, yakni Gerindra dan PAN. Kedua fraksi ini menolak karena pembangunan tak memiliki urgensi jelas. Di pihak yang lain, fraksi PDI-P, yang awalnya menolak pembangunan gedung DPR, tiba-tiba berubah haluan dalam rapat konsultasi.
Aroma busuk persekongkolan makin tercium oleh publik. Benarkah DPR telah berubah menjadi ”segerombolan” manusia yang tidak beradab?
Permainan elite
Jika ditelisik ke belakang, tampak jelas permainan di tingkat elite untuk memuluskan pembangunan gedung baru. Tak tanggung-tanggung, baik Sekretaris Jenderal DPR, pimpinan DPR, maupun pimpinan beberapa fraksi rela ”pasang badan”. Pemufakatan jahat ini begitu rapi tersusun dan hanya diketahui oleh unsur pimpinan saja, baik pimpinan DPR maupun pimpinan alat kelengkapan, seperti badan urusan rumah tangga dan fraksi. Anggota DPR lain hanya ”melongo” dan seolah tidak bisa berbuat apa-apa.
Persekongkolan ini sangat mudah terlacak dari adanya upaya mengarahkan agar polemik pembangunan gedung DPR diputuskan hanya melalui forum rapat konsultasi terbatas. Terbatas hanya pada pimpinan DPR dan pimpinan fraksi. Ini menyalahi prosedur pengambilan keputusan yang seharusnya mengakomodasi suara semua anggota DPR. Pasal 84 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) seyogianya hanya memberikan tugas kepada pimpinan DPR sebatas memfasilitasi anggota DPR, bukan pada tataran mewakili anggota DPR dalam pengambilan keputusan yang sifatnya strategis. Penyederhanaan pengambilan keputusan ini merupakan pelanggaran UU MD3 oleh jajaran pimpinan DPR.
Keterlibatan fraksi dalam pengambilan keputusan semacam ini juga bentuk ”pembungkaman” parpol terhadap anggotanya. Padahal, fraksi hanyalah perwakilan parpol dan bukan merepresentasikan anggota DPR sebagai wakil rakyat (Pasal 11 Ayat 1 UU MD3). Jika ini yang terjadi, parpol justru jadi bagian dari ”persekongkolan” untuk memuluskan pembangunan gedung. Hal ini makin mengukuhkan bahwa parpol telah keluar dari demarkasi sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat.
Cabut mandat DPR
DPR seperti telah kehilangan akal sehat dan sudah telanjur ”tuli” untuk mendengar aspirasi masyarakat. Hal ini tecermin dalam beberapa survei Kompas yang menyebutkan 74,3 persen masyarakat menganggap DPR sudah tidak lagi mewakili kepentingannya. Jika ini yang terjadi, hampir bisa dipastikan, demokrasi dengan sistem perwakilan sudah tak mampu lagi menjalankan fungsinya. Maka, rakyat sebagai pemegang kedaulatan (kekuasaan) dalam sistem ini berhak menarik dukungannya.
Ketentuan perundang-undangan memang tidak mengatur hak masyarakat pemilih melakukan recall terhadap anggota DPR. Undang-undang hanya memberikan hak kepada partai politik untuk melakukan hal itu.
Pengaturan ini tentu membatasi hak masyarakat sebagai pemegang kedaulatan yang dijamin oleh UUD (Pasal 1 Ayat 2). Dengan kondisi DPR yang begitu buruk saat ini, masyarakat pemilih yang menganggap anggota DPR sudah tak mampu lagi mewakili kepentingannya dapat menggunakan hak konstitusionalnya mencabut mandat itu.
Gerakan mencabut mandat DPR harus segera disuarakan agar masyarakat tidak perlu menunggu proses pemilu berikutnya. Pembodohan dan pembohongan yang selama ini dilakukan DPR hanya bisa dilakukan dengan penggantian rezim.
Kritik, hujatan, dan cacian terbukti tak ampuh untuk mengubah pendirian dan sikap angkuh anggota DPR. Mereka seolah telah kehilangan ”adab” sebagai wakil rakyat yang seyogianya mendengarkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Benarlah anggapan yang menyatakan bahwa DPR memang sudah tidak beradab.
Reza Syawawi Peneliti Hukum Transparency International Indonesia
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2011/04/12/04270322/dpr.tak.beradab.
0 comments:
Posting Komentar