Boni Hargens
Nollendorfplatz. Daerah ini dikenal luas di Berlin. Selain karena karnaval homoseksnya juga karena tradisi mimbar bebasnya. Para politisi biasa berkumpul di halaman terbuka dan mendebatkan apa saja. Mulai dari politik hijau, die grüne Politik, multikulturalisme, sampai urusan seks. Kami mampir pada sebuah kedai makan di daerah itu. Ada hal unik. Lelaki tua berwajah Jepang dan berlidah Jerman membawa kami dalam perbincangan ringan. Setelah tahu kami dari Indonesia, pemilik rumah makan itu setengah teriak, ”Indonesia? Halo, Soekarno!” Teman di samping berbisik, ”Tiap orang Indonesia dia panggil Soekarno.”
Teringat, pada tahun 2003 di sebuah desa arah utara Bangkok, Thailand, setelah kami menghadiri konferensi kaum muda negara-negara APEC, seorang kakek bertanya dalam logat Thai, ”Bagaimana Soekarno? Apa masih sehat?”
Dua pengalaman ini membawa kami pada kesimpulan bahwa sebuah identitas diperlukan agar suatu bangsa dikenal (dihargai) oleh bangsa lain. Namun, apa identitas kita? Soekarno sudah menjadi preseden sejarah bahwa kepemimpinan kuat merupakan indikator yang krusial.
Kekuatan membebaskan
Ilmuwan politik dari Freie Universität di Berlin, Saskia Louise Schäfer, menulis Die Demokratisierung in Ägypten und Indonesien , demokratisasi di Mesir dan Indonesia yang tersua di http://de.qantara.de, 25/3/2011.
Saskia mengkritik dialog Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Hosni Mubarak pada Februari 2011 soal pengalaman Indonesia berdemokrasi. Hat Indonesien damit eine demokratische Erfolgsgeschichte vorgelegt , ein Beispiel für die arabische Welt ? Sudahkah Indonesia menorehkan cerita sukses sebagai teladan bagi dunia Arab?
Usai mengulas kekerasan terhadap Ahmadiyah dan perusakan rumah ibadah belakangan, Saskia kembali mengajukan sinisme: Was also kann Ägypten aus diesem so widersprüchlich schillernden Beispiel lernen? Apa lagi yang bisa Mesir pelajari dari teladan ambivalen yang begini kontradiktif?
Skeptisisme Saskia sejalan dengan skor Barometer Asia (2006) yang memperlihatkan angka kepuasan demokrasi di Indonesia (5,89) lebih buruk daripada Thailand (7,97) dan Mongolia (6,34), meskipun lebih baik dari Korea (4,81), Taiwan (5,59), apalagi Filipina (3,78).
Penilaian merah seperti ini mesti mendorong kita pada keyakinan esensial bahwa membangun sebuah identitas yang pantas dibanggakan adalah keniscayaan. Ada ahli yang bilang: modernisasi adalah jalan menuju kematian nasionalisme. Bangsa yang merupakan pengorganisasian prinsip moral, sosial, dan politik sudah bergeser ke arah penguatan nilai liberal. Kalau logika modernisasi dicermati, di mana tiap negara memperjuangkan kepentingan sendiri dengan judul ”kepentingan global”, tampak bahwa teori macam ini lupa mengamati umpan balik dari kosmopolitanisasi.
Bahwa arus menuju ”masyarakat dunia tunggal” hanyalah kamuflase untuk memperkuat posisi tawar nasional dari tiap pemain besar dalam peta politik global. Maka, benarkah globalisasi menandakan akhir nasionalisme atau mensinyalir hegemoni nasionalitas negara adidaya?
Kembali Anthony Smith menegaskan dalam buku terbarunya, nasionalisme adalah kekuatan yang membebaskan (2010). Kepemimpinan politik dibentuk untuk merawat perasaan itu dan menjadikannya produktif agar tujuan dasar adanya negara-bangsa tercapai: kemaslahatan umum! Implikasinya, modernisasi seharusnya bukan zamannya negara lemah mengekor negara kuat, melainkan era untuk saling belajar dan saling mendorong menuju tata dunia yang beradab.
Tiga tesis
Bagaimanapun Indonesia bukan sekadar titik dalam atlas dunia, apalagi dikenal sebatas bekas koloni asing. Indonesia adalah bangsa besar. Kebesaran itu perlu dikonversi ke segala dimensi. Namun, kita gagal, bahkan di kawasan Asia Tenggara dilewati Malaysia dan Singapura.
Maka, segala bentuk kritik dalam konteks ini bermuara pada tiga tesis. Pertama, kepemimpinan politik harus kuat dan berbasis ideologi supaya negara dirasakan betul ”hadir” di tengah dan untuk rakyat.
Kedua, fungsi tiap struktur politik harus dioptimalkan supaya agenda pembangunan menjadi nyata. Kinerja diutamakan ketimbang gedung. Akuntabilitas didahulukan ketimbang gaji. Politisasi liar di ranah hukum, olahraga, ekonomi, dan budaya harus ada batasnya, kalau tak bisa dihilangkan, supaya fondasi demokrasi masih bisa tegak.
Ketiga, kultur politik modern dibangun dengan penuh kesadaran dan komitmen. Elite politik perlu memberi teladan supaya partai politik tidak selalu sibuk dengan permainan kekuasaan yang dangkal dan konyol.
Perlahan-lahan, kalau proses ini dilalui, akan terpahat suatu identitas yang jelas ketika Indonesia dikenal karena maju demokrasinya dan tinggi peradabannya. Orang pun menyapa kita bukan lagi ”Halo, Soekarno!” melainkan ”Halo, Indonesia!”
Boni Hargens Pengajar Ilmu Politik UI, Tengah Melanjutkan Studi di Jerman
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2011/04/16/04224945/indonesia.halo.soekarno
Dua pengalaman ini membawa kami pada kesimpulan bahwa sebuah identitas diperlukan agar suatu bangsa dikenal (dihargai) oleh bangsa lain. Namun, apa identitas kita? Soekarno sudah menjadi preseden sejarah bahwa kepemimpinan kuat merupakan indikator yang krusial.
Kekuatan membebaskan
Ilmuwan politik dari Freie Universität di Berlin, Saskia Louise Schäfer, menulis Die Demokratisierung in Ägypten und Indonesien , demokratisasi di Mesir dan Indonesia yang tersua di http://de.qantara.de, 25/3/2011.
Saskia mengkritik dialog Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Hosni Mubarak pada Februari 2011 soal pengalaman Indonesia berdemokrasi. Hat Indonesien damit eine demokratische Erfolgsgeschichte vorgelegt , ein Beispiel für die arabische Welt ? Sudahkah Indonesia menorehkan cerita sukses sebagai teladan bagi dunia Arab?
Usai mengulas kekerasan terhadap Ahmadiyah dan perusakan rumah ibadah belakangan, Saskia kembali mengajukan sinisme: Was also kann Ägypten aus diesem so widersprüchlich schillernden Beispiel lernen? Apa lagi yang bisa Mesir pelajari dari teladan ambivalen yang begini kontradiktif?
Skeptisisme Saskia sejalan dengan skor Barometer Asia (2006) yang memperlihatkan angka kepuasan demokrasi di Indonesia (5,89) lebih buruk daripada Thailand (7,97) dan Mongolia (6,34), meskipun lebih baik dari Korea (4,81), Taiwan (5,59), apalagi Filipina (3,78).
Penilaian merah seperti ini mesti mendorong kita pada keyakinan esensial bahwa membangun sebuah identitas yang pantas dibanggakan adalah keniscayaan. Ada ahli yang bilang: modernisasi adalah jalan menuju kematian nasionalisme. Bangsa yang merupakan pengorganisasian prinsip moral, sosial, dan politik sudah bergeser ke arah penguatan nilai liberal. Kalau logika modernisasi dicermati, di mana tiap negara memperjuangkan kepentingan sendiri dengan judul ”kepentingan global”, tampak bahwa teori macam ini lupa mengamati umpan balik dari kosmopolitanisasi.
Bahwa arus menuju ”masyarakat dunia tunggal” hanyalah kamuflase untuk memperkuat posisi tawar nasional dari tiap pemain besar dalam peta politik global. Maka, benarkah globalisasi menandakan akhir nasionalisme atau mensinyalir hegemoni nasionalitas negara adidaya?
Kembali Anthony Smith menegaskan dalam buku terbarunya, nasionalisme adalah kekuatan yang membebaskan (2010). Kepemimpinan politik dibentuk untuk merawat perasaan itu dan menjadikannya produktif agar tujuan dasar adanya negara-bangsa tercapai: kemaslahatan umum! Implikasinya, modernisasi seharusnya bukan zamannya negara lemah mengekor negara kuat, melainkan era untuk saling belajar dan saling mendorong menuju tata dunia yang beradab.
Tiga tesis
Bagaimanapun Indonesia bukan sekadar titik dalam atlas dunia, apalagi dikenal sebatas bekas koloni asing. Indonesia adalah bangsa besar. Kebesaran itu perlu dikonversi ke segala dimensi. Namun, kita gagal, bahkan di kawasan Asia Tenggara dilewati Malaysia dan Singapura.
Maka, segala bentuk kritik dalam konteks ini bermuara pada tiga tesis. Pertama, kepemimpinan politik harus kuat dan berbasis ideologi supaya negara dirasakan betul ”hadir” di tengah dan untuk rakyat.
Kedua, fungsi tiap struktur politik harus dioptimalkan supaya agenda pembangunan menjadi nyata. Kinerja diutamakan ketimbang gedung. Akuntabilitas didahulukan ketimbang gaji. Politisasi liar di ranah hukum, olahraga, ekonomi, dan budaya harus ada batasnya, kalau tak bisa dihilangkan, supaya fondasi demokrasi masih bisa tegak.
Ketiga, kultur politik modern dibangun dengan penuh kesadaran dan komitmen. Elite politik perlu memberi teladan supaya partai politik tidak selalu sibuk dengan permainan kekuasaan yang dangkal dan konyol.
Perlahan-lahan, kalau proses ini dilalui, akan terpahat suatu identitas yang jelas ketika Indonesia dikenal karena maju demokrasinya dan tinggi peradabannya. Orang pun menyapa kita bukan lagi ”Halo, Soekarno!” melainkan ”Halo, Indonesia!”
Boni Hargens Pengajar Ilmu Politik UI, Tengah Melanjutkan Studi di Jerman
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2011/04/16/04224945/indonesia.halo.soekarno
0 comments:
Posting Komentar