Febri Hendri AA
Korupsi massal dan sistemis mengancam penyelenggaraan dana bantuan operasional sekolah triwulan I tahun 2011 di puluhan ribu SD dan SMP.Risiko dana bantuan operasional sekolah (BOS) dikorupsi kali ini diprediksi lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, pelayanan publik sekolah sangat terganggu karena kekurangan dana operasional.
Korupsi massal dan sistemis dapat dipicu dua hal, yakni keterlambatan penyaluran dan buruknya sistem pengawasan atas penggunaan dana BOS.
Pada awal Januari 2011, pemerintah pusat telah menyalurkan dana BOS triwulan I tahun 2011 ke kas umum daerah. Namun, sampai akhir Maret hampir 50 persen pemerintah kabupaten/kota masih menunda penyaluran dana BOS ke sekolah. Alasan penundaan, antara lain, masih menunggu pengesahan APBD, pelengkapan dokumen sekolah, atau menunggu pelantikan kepala daerah hasil pilkada.
Akibatnya, sekolah terpaksa berutang pada berbagai toko untuk memenuhi kebutuhan operasional mereka. Bahkan, banyak sekolah terpaksa meminjam dana pihak ketiga untuk menutupi kebutuhan operasional karena keterlambatan dana BOS.
Utang dan pinjaman dana pihak ketiga ini akan memaksa sekolah memanipulasi laporan keuangan dan pertanggungjawaban. Manipulasi dilakukan untuk menutupi pelanggaran penggunaan dana BOS guna membayar bunga pinjaman. Sekolah melakukan penggelapan maupun mark-up atas pembelian barang kebutuhan operasional dan membuat pertanggungjawaban seakan-akan sesuai petunjuk teknis dana BOS atau peraturan perundang-undangan lain.
Manipulasi laporan keuangan dan pertanggungjawaban merupakan cara ampuh menutupi penyalahgunaan dan penyelewengan dana BOS. Praktik semacam ini sering kali luput dari pengawasan instansi terkait, khususnya dinas pendidikan atau tim manajemen BOS daerah dan lembaga pemeriksa internal, yakni inspektorat provinsi, kabupaten/kota.
Sekolah merupakan penyelenggara pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sebagai penyelenggara pelayanan publik, sekolah wajib melaksanakan pelayanan berkualitas sebagaimana diatur dalam Pasal 15 (e) UU dimaksud.
Selain itu, guru sebagai pelaksana pelayanan publik juga terancam melanggar asas pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Ayat (e) UU tersebut. Guru tidak mendapatkan dukungan dana dan barang untuk kegiatan belajar-mengajar dengan murid. Guru honorer juga terancam mendapatkan gaji lebih rendah dari sebelumnya.
Oleh karena itu, keterlambatan dana BOS akan menghambat sekolah menunaikan kewajiban sebagai badan penyelenggara pelayanan publik. Sekolah tidak memiliki dana operasional yang cukup untuk memenuhi pelayanan pendidikan sebagaimana diwajibkan oleh UU. Namun, pelanggaran ini bukan karena kesalahan pihak sekolah, tetapi dipicu oleh kebijakan pemerintah pusat dan DPR yang tidak hati-hati memutuskan kebijakan.
Biang keterlambatan
Pemerintah pusat, terutama Mendiknas, selalu menyalahkan pemerintah kabupaten/kota yang terlambat menyalurkan dana BOS ke sekolah.
Meski pemerintah kabupaten/kota berkontribusi atas keterlambatan penyaluran, kesalahan utama justru pada pemerintah pusat dan DPR. Kesalahan terjadi karena dua institusi ini bersepakat memutuskan dana BOS masuk dalam komponen Dana Penyesuaian yang ditransfer ke daerah, meski mereka mengetahui bahwa dana akan terlambat disalurkan oleh pemerintah di daerah ke sekolah.
Hal ini menimbulkan dugaan bahwa dana BOS dijadikan korban eksperimen desentralisasi fiskal oleh pemerintah pusat serta pemenuhan permainan politik politisi Senayan. Politisi akan mengklaim telah memajukan pendidikan pada konstituen mereka karena memasukkan dana BOS dalam komponen transfer ke daerah.
Salah kebijakan ini bermula dari masuknya dana BOS pada komponen Dana Penyesuaian dalam UU No 10/2010 tentang APBN 2011. Berdasarkan RUU APBN dan Nota Keuangan yang disampaikan Presiden RI kepada DPR, Agustus 2010, terungkap bahwa pemerintah pusat merupakan inisiator kebijakan ini.
Berdasarkan Nota Keuangan APBN 2011 halaman 4 paragraf 1, pemerintah memutuskan mengalihkan dana BOS pada Kementerian Pendidikan Nasional sebesar Rp 16,8 triliun menjadi transfer ke daerah. Dengan demikian, jumlah belanja bantuan sosial yang dialihkan jadi transfer ke daerah pada 2011 seluruhnya mencapai Rp 78,3 triliun.
Pertanyaannya, mengapa hanya dana BOS yang ”dikorban- kan” jadi komponen transfer ke daerah? Mengapa dana lain yang dikuasai oleh pemerintah pusat—seperti dana bantuan sosial untuk Jamkesmas, PNPM, atau anggaran pada kementerian/lembaga yang dibelanjakan di daerah—tidak dimasukkan dalam komponen ini?
Dana BOS merupakan dana sangat penting bagi operasional sekolah. Hampir 90 persen dana operasional sekolah berasal dari dana BOS. Oleh karena itu, dana ini memiliki karakteristik berbeda dengan dana program lain.
Salah satu karakteristik penting itu adalah ketepatan waktu penyaluran. Keterlambatan penyaluran sedikit saja akan memicu masalah korupsi sistemis dan masalah kompleks.
Meski Mendiknas dan Mendagri telah mengeluarkan surat edaran bersama terkait penyaluran dana BOS, nyatanya belum mampu mengatasi masalah keterlambatan penyaluran ini. Pemerintah di daerah tetap saja menunda penyaluran dan memilih menunggu pengesahan RAPBD oleh DPRD. Mereka tidak ingin terjerat masalah hukum dan politik lokal jika tetap menyalurkan dana BOS ke sekolah.
Rekomendasi
Kebijakan penyaluran dana BOS 2011 ini dapat dinilai sebagai kelalaian kewajiban pemerintah pusat dan DPR atas Pasal 11 Ayat (2) UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal ini berbunyi: ”Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”.
Frasa ”menjamin tersedianya dana” tidak hanya berarti wajib mengalokasikan anggaran dalam APBN dan APBD, juga menjamin alokasi tersebut sampai di tingkat satuan pendidikan tepat waktu. Kelalaian ini dapat dianggap sebagai mal-administrasi kebijakan pemerintah dan DPR.
Guna menghindari masalah lebih lanjut, penulis merekomendasikan beberapa hal berikut. Pertama, pemerintah pusat dan DPR merevisi UU No 10/2010 tentang APBN 2011. Revisi antara lain dilakukan dengan memasukkan kembali dana BOS pada kelompok belanja pemerintah pusat di daerah dan bukan pada kelompok Dana Penyesuaian yang ditransfer ke daerah.
Kedua, Mendiknas merevisi Permendiknas No 37 Tahun 2010 dengan membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya dalam pencairan dan penggunaan dana BOS.
Ketiga, Ombudsman menginvestigasi dugaan mal-administrasi penyaluran, dan bersama KPK mengawasi bunga giro atas pengendapan dana BOS pada kas umum daerah.
Febri Hendri AA Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch
0 comments:
Posting Komentar