Kamis, 14 April 2011

Diplomasi Kompensasi

Wahyu Susilo
Kelambanan Pemerintah Indonesia merespons masalah yang dihadapi warga negaranya yang sedang bekerja/berada di negara lain kembali menjadi sorotan publik.
Berbagai kalangan mempertanyakan apa yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia menyikapi tragedi penyanderaan awak kapal Sinar Kudus oleh perompak Somalia.
Jawabannya ternyata seperti memutar lagu lama. Jika menyangkut nasib warga negaranya yang tertimpa musibah dan masalah hukum di luar negeri, pemerintah lamban dan bertele-tele. Ini tentu sangat berbeda dengan kesigapan pihak Istana yang dengan cepat merespons pemberitaan The Sydney Morning Herald dan The Age yang menyingkap kawat-kawat Wikileaks tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara.
Perompakan kapal Sinar Kudus yang berujung pada penyanderaan awak kapal ini sebenarnya sudah berlangsung hampir satu bulan. Peristiwa tersebut baru terungkap ketika keluarga awak kapal yang disandera menyatakan bahwa pemerintah tidak merespons secara signifikan laporan keluarga awak kapal itu.
Ketika media massa memberitakan keluh kesah keluarga awak kapal, pemerintah baru menanggapi dan (masih) berjanji mengupayakan jalan terbaik untuk pembebasannya.
Situasi serupa pernah terjadi ketika Pemerintah RI terkesan enggan menangani kasus telantarnya ratusan buruh migran Indonesia yang berada di kolong Jembatan Kandara, Arab Saudi. Pemerintah baru bergerak ketika media massa terus memberitakan penderitaan mereka.
Bukan yang pertama
Peristiwa penyanderaan pelaut Indonesia di perairan Somalia sebenarnya bukan yang pertama. Sepanjang 2007-2009 sejumlah pelaut Indonesia yang berlayar pada kapal-kapal milik asing (Malaysia, Perancis, dan Kenya) juga disandera perompak Somalia. Akhirnya semua dibebaskan melalui serangkaian operasi militer, perundingan, dan pembayaran uang tebusan. Namun, pada proses pembebasan tak tampak keterlibatan aktif Pemerintah Indonesia. Maka, sekarang inilah ujian bagi pemerintah, apakah mampu membebaskan pelaut-pelaut Indonesia dengan kekuatan sendiri.
Pernyataan Presiden SBY bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam layak diapresiasi, tetapi harus diwujudkan dalam langkah cepat. Kecenderungan pemerintah mewacanakan secara terbuka opsi pembayaran tebusan sandera—tanpa segera mengeksekusi—bisa memperkuat kekuatan tawar penyandera dan menyudutkan posisi awak kapal MV Sinar Kudus. Hal ini terlihat dari sikap penyandera yang makin hari makin meningkatkan nilai uang tebusan dan kian sering menebar ancaman terhadap sandera. Inilah salah satu titik lemah diplomasi perlindungan warga negara Indonesia (WNI) yang selama ini lebih bertumpu pada penyelesaian mediasi melalui kompensasi material ketimbang memaksimalkan sumber daya politik Pemerintah Indonesia.
Belum luruh dari ingatan kita bagaimana Ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta pejabat lain lebih sibuk ”mengemis” menghimpun dana untuk membayar diyat (kompensasi pengganti) bagi Darsem yang terancam hukuman mati daripada merumuskan langkah hukum dan diplomatik yang masih terbuka lebar untuk membebaskan Darsem.
Migrant Care mencatat banyak kasus kekerasan dan kematian yang dialami buruh migran Indonesia, terutama pekerja rumah tangga, berujung pada penyelesaian mediasi kompensasi dan mengabaikan proses hukum. Dari kasus-kasus yang ditangani Migrant Care, ada upaya sistematis untuk mengarahkan (keluarga) korban agar menempuh jalan mediasi dengan iming-iming material. Model penyelesaian kasus seperti ini merupakan bentuk impunitas (kejahatan tanpa penghukuman) bagi pelaku kekerasan terhadap buruh migran. Saya menamakan model ini diplomasi kompensasi.
Diplomasi kompensasi
Jika kita tengok situs Kementerian Luar Negeri, tampaklah bahwa hampir tiap minggu ada berita pembayaran kompensasi terhadap buruh migran Indonesia yang bermasalah. Diplomasi kompensasi ternyata dianggap sebagai model ideal pembelaan terhadap WNI.
Sebaliknya, di situs tersebut kita hampir tak pernah menemukan informasi mengenai pemantauan peradilan terhadap kasus-kasus hukum yang melibatkan WNI di luar negeri. Contohnya adalah kasus Sumiati, pekerja rumah tangga migran yang dianiaya majikan, dan kasus ancaman hukuman mati terhadap ratusan WNI yang bekerja di Malaysia. Tidaklah mengherankan jika publik dan Pemerintah Indonesia kaget mengetahui pembebasan majikan Sumiati pada pengadilan tingkat pertama.
Diplomasi kompensasi hanya membuat posisi tawar pemerintah semakin lemah dalam pembelaan WNI di luar negeri. Kini saatnya meninggalkan model diplomasi kompensasi yang begitu tega menukar nyawa dan rasa keadilan hanya dengan segepok uang.
Wahyu Susilo Analis Kebijakan Migrant Care dan Program Manager INFID
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2011/04/14/04024737/diplomasi.kompensasi

0 comments:

Posting Komentar