APA yang diharapkan warga dari sebuah sistem pendidikan? Bagi orang awam sekalipun pasti tahu bahwa yang dibutuhkan adalah setidaknya kurikulum yang baik, pengajar yang enak, fasilitas memadai, dan biaya murah, jika bisa. Lalu selebihnya mungkin adalah lingkungan yang kondusif, daya saing yang tinggi, serta segala aspek lain yang ada di luar ruang sekolah.
TAMPAKNYA hal itu tersedia di Singapura. Perbandingan sistem pendidikan di Singapura dengan Indonesia seperti bumi dan langit rasanya. Departemen Pendidikan Singapura (Ministry of Education) tampaknya lebih banyak bekerja dan memberi perhatian besar pada pengembangan pendidikan ketimbang memanfaatkan pendidikan sebagai sumber rezeki bagi oknum atau pegawai-pegawai departemen itu.
Dari sekolah dasar hingga universitas, misalnya, siswa sudah dipantau dan diarahkan untuk mendapatkan pendidikan yang cocok untuknya. Jadi, tidak semua warga layak atau bebas masuk universitas di Singapura. Bagi mereka yang tidak layak masuk universitas di Singapura, memang bebas memilih kuliah di luar negeri sesuai dengan kemampuan orangtua, tetapi tidak bebas masuk universitas di Singapura jika tidak melewati tes tertentu.
Dengan pendapatan per kapita lebih dari 24.000 dollar AS per tahun, Singapura termasuk paling kaya di dunia. Namun, Singapura tidak menyamaratakan bahwa semua warga pasti mampu. Biaya sekolah di Singapura relatif murah. Yang diperlukan adalah biaya di luar uang sekolah seperti penunjang kelancaran sekolah, transportasi, buku-buku, dan lainnya.
Untuk keluarga yang tidak mampu, pemerintah menyediakan beasiswa jika perlu. Itu disediakan untuk memastikan bahwa kemiskinan bukan hambatan untuk mengenyam pendidikan.
Meski mobil bukan persoalan bagi kebanyakan warga di Singapura, untuk kelancaran transportasi anak-anaknya tersedia berbagai mode transportasi, mulai dari MRT, dipadu dengan rangkaian bus kota yang memiliki akses ke semua sekolah. Untuk transportasi ke dan dari Nanyang Technological University (NTU), misalnya, tersedia berbagai jalur bus yang membelah masuk ke kompleks universitas di Jurong.
Apa lagi? Ruang kelas, perpustakaan, kantin sekolah, dan tempat bersantai juga tersedia. Ruang kelas ditata secara bersih dan membuat murid bisa melihat guru atau dosen dan sebaliknya dosen atau guru bisa memantau semua anak didiknya. Kelas diperlengkapi dengan peralatan yang memudahkan guru melakukan presentasi lewat slide yang sudah melekat di setiap ruang sekolah sehingga tidak perlu repot setiap kali melakukan presentasi. Janganlah segan makan di kantin-kantin sekolah, jenisnya cukup banyak, relatif sehat, dan murah lagi.
Akses internet hingga ke ruang-ruang kelas juga tersedia dan gratis hanya dengan mendaftar untuk mendapatkan ID dari sekolah dan universitas. Hal itu memang sengaja dilakukan untuk membuat murid memiliki akses yang mudah mendapatkan informasi. Terkadang bahan pelajaran juga sudah dipajang di situs internet yang membuat mahasiswa bisa mengakses secara on-line.
Dosen-dosen dan guru di Singapura juga tidak kalah profesionalnya. Dengan gaji yang tergolong memadai, orang- orang terangsang menjadi guru. Tidak semua guru berasal dari Singapura sendiri.
Dengan jumlah penduduk yang sedikit, hanya 4 juta jiwa lebih, Singapura memerlukan pasokan guru. Untuk itu terkadang guru didatangkan dari negara lain. Untuk level universitas, misalnya, NTU dan National University of Singapore (NUS) tak segan menawarkan gaji yang tinggi menyamai gaji di Harvard Business School. “Kami memang harus bersaing dan menawarkan rangsangan yang lumayan untuk bisa menarik orang-orang yang punya talenta dunia,” demikian dosen di NTU, Ang Poo Wah.
Dosen-dosen di NTU, misalnya, tidak sedikit yang menjadi orang-orang hebat di negara asalnya dan kemudian direkrut menjadi dosen di Singapura. Masalahnya, Singapura berniat menjadikan dirinya sebagai pusat pendidikan berkelas internasional, setelah berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat pelayanan kesehatan terbagus di Asia Tenggara.
Kegiatan di universitas dan di sekolah-sekolah bukan sebatas acara belajar-mengajar rutin di ruang-ruang kelas. Hampir setiap bulan tampil pembicara tamu berkaliber internasional membawakan topik-topik baru yang ditemukan di dunia.
Pemerintah Singapura tidak segan-segan mendatangkan, misalnya, Michael Porter, Philip Kottler, ahli manajemen terkenal di dunia, serta dosen-dosen kaliber internasional yang memang mahal tarifnya tetapi Singapura tidak pelit soal itu.
Jadi, selain mendapatkan ilmu, mahasiswa juga diberi pencerahan dengan menghadiri seminar-seminar gratis tetapi sangat berkualitas. Jangan bayangkan presentasi mereka seperti guru-guru atau dosen-dosen yang direkrut begitu saja untuk jadi pengajar P4 yang membuat ngantuk di negara kita pada zaman Orde Baru.
Gilanya lagi, sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan di Singapura tidak berhenti melirik perkembangan pendidikan di negara lain. Maka, muncullah misalnya aliansi antara sekolah bisnis di NTU dan Sloan School of Management di Massachusetts Institute of Technology.
Aliansi seperti itu dibiarkan dirangsang sendiri oleh masing-masing fakultas. Universitas hanya memberi persetujuan. Otonomi masing-masing fakultas dibuat sedemikian tinggi dan dibiarkan mampu memikirkan pengembangan diri sendiri. Soal pendanaan, tampaknya tidak menjadi masalah. NTU, misalnya, sudah memiliki endowment fund dari pemerintah sebesar 200 juta dollar Singapura.
Maka, tidak heran jika NTU, NUS, dan Singapore Management University dengan mudah membangun aliansi dengan Harvard University, Wharton School, dan universitas kelas satu lainnya di AS. Kerja sama internasional pendidikan juga dilakukan dengan banyak negara. Namun, kemajuan pendidikan di AS membuat Singapura lebih berkiblat ke AS.
Mahasiswa di Singapura sering kali mendapatkan kesempatan untuk melakukan studi tur dengan menjelajah dunia. Bagi mahasiswa yang mampu dibiarkan membayar sendiri, tetapi dengan subsidi universitas. Namun, bagi yang tidak mampu tersedia beasiswa yang memungkinkan mereka tinggal di hotel, seperti JW Marriott. Bayangkan, misalnya, selama satu setengah bulan mahasiswa pascasarjana di Nanyang MBA Fellowship Programme tinggal di apartemen yang dikelola JW Marriott di Boston.
Jadi, persoalan bukanlah pada fasilitas dan beasiswa. Mahasiswa tinggal menyediakan waktu dan niat untuk belajar tekun tanpa harus diganggu oleh ketiadaan biaya. Bukan hanya itu, Pemerintah Singapura tidak saja bersedia mendidik warganya, tetapi juga bersedia merekrut calon-calon siswa dan mahasiswa dari negara tetangga dan dengan beasiswa serta tawaran kesempatan kerja di Singapura. Karena itu, tidak heran jika ada warga melayu dari Padang hingga Klaten belajar di Singapura dengan bantuan, termasuk ongkos pesawat pergi pulang saat liburan.
Singapura sadar akan potensi kekurangan tenaga kerja. Niat Singapura untuk menawarkan beasiswa bukan sekadar menjadikan mereka sebagai tenaga di Singapura suatu saat. Bagi mahasiswa yang kembali bekerja di negara asalnya, setidaknya diharapkan bisa menjadi orang yang kenal dan sayang dengan Singapura dan bisa menjadi jaringan Singapura di kemudian hari.
Bukan itu saja, dengan mengundang mahasiswa dari luar, Pemerintah Singapura otomatis membuat warganya terbiasa bergaul secara internasional ketika masih berada di sekolah. Itu sesuai dengan posisi Singapura sebagai hub regional sehingga warganya tidak menjadi seperti katak di bawah tempurung. Bicara soal silabus dan kurikulum, departemen pendidikan di Singapura setiap kali bekerja untuk melakukan evaluasi. Setiap perkembangan baru selalu disisipkan pada silabus baru.
Jadi, itulah pendidikan di Singapura, bukan sekadar menyediakan sarana dan prasarana yang baik, tetapi terus melakukan up-dating dari tahun ke tahun. Itu semua dilakukan sebagai pengejawantahan visi dan misi pendidikan di Singapura.
Bukan itu saja, iklim persaingan di antara keluarga dan komunitas di Singapura menjadi salah satu kunci rahasia sukses pendidikan di Singapura. Bayangkan, orangtua, rekan, pasangan, atau pacar seperti “memaksa” siswa dan mahasiswa untuk menjadi juara satu atau tidak sama sekali. Hanya ada satu orang juara satu. Akan tetapi, dengan prinsip itu, semua orang berlomba mendapatkan nilai terbaik dan tidak jarang sejumlah besar mahasiswa sama-sama memiliki nilai A semuanya.
Apa sih kurangnya pendidikan di Singapura? Tidak ada jika dibandingkan dengan pendidikan di Indonesia, misalnya. Yang mungkin masih kurang adalah keberanian siswa dan mahasiswa berbicara di ruang kelas dan mempertanyakan kebenaran sistem dari negara yang tidak begitu bebas. Mahasiswa Singapura tidak begitu cerewet di kelas seperti masyarakatnya. Inilah yang disadari oleh PM Lee Hsien Loong (BG Lee). Kebebasan berekspresi secara nasional ala Singapura ternyata berdampak di kelas-kelas. Maka itu, kini BG Lee menawarkan paradigma baru, yakni kebebasan bicara.
Soalnya, aneh memang jika di kelas pun mahasiswa harus ramah dan menurut. Bukankah pendidikan bermaksud mencari kebenaran atas yang salah, termasuk kediktatoran ala Singapura yang dimulai oleh mantan PM Lee Kuan Yew, yang melarang oposisi berkoak-koak?
Oleh: SIMON Saragih
0 comments:
Posting Komentar