Kamis, 28 April 2011

Pers, Nasionalisme dan Demokrasi Indonesia Raya

Senin, 25 April 2011 , 08:36:00 WIB

  

PERS Indonesia lahir dari rahim perjuangan melawan belenggu kolonialisme yang mencengkeram rakyat negeri jajahan di bumi nusantara selama bertahun-tahun. Adalah kaum pers yang pertama kali menggelorakan dan memperkenalkan sentimen kebangsaan-nasionalisme Indonesia lewat produk jurnalistik yang masih sangat sederhana di dekade awal abad ke-20 silam.
Wartawan-pejuang di masa itu, seperti Tirto Adi Suryo dan Mas Marco Kartodikromo, adalah yang pertama kali menanamkan perasaan senasib sependeritaan di kalangan rakyat negeri jajahan yang berada di tempat-tempat yang saling berjauhan dan memiliki perbedaan latar belakang budaya yang begitu rupa.
Bukan kelas pengusaha yang menanamkan kesadaran nasionalisme, bukan kelas ambtenar, juga bukan kelas serdadu. Sekali lagi, kelas wartawan-pejuang lah yang menanamkan kesadaran di tengah masyarakat terjajah akan arti penting gerakan perlawanan untuk memperoleh kedaulatan.
Dengan historical account itu, sudah sepatutnya kita menyadari kembali bahwa salah satu tugas pers Indonesia adalah menjaga kepentingan nasional untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur lewat jalan demokrasi yang memberikan hak politik dan kesempatan yang sama kepada setiap warganegara.
Pers Indonesia tidak bekerja untu menjaga kepentingan partai politik, kelompok dan orang per orang. Juga tidak bekerja untuk mengawal kepentingan pemilik modal. Bahkan sudah seharusnya kita berani menegaskan bahwa perusahaan media dan insan pers adalah dua hal yang berbeda.
Belakangan ini Indonesia dihadapkan pada bahaya baru berupa praktik politik, hukum, dan ekonomi yang menghalalkan segala cara untuk memaksimalisasi keuntungan. Bahaya ini juga mengancam dunia pers Indonesia.
Kini kita sama-sama menyaksikan betapa banyak pemilik modal dan kaum konglomerasi multi-industri yang merasa perlu memiliki media massa. Didukung kekuatan modal yang begitu besar, kaum konglomerasi multi-industri ini dengan mudah merekruit insan-insan pers terbaik sehingga bisa menciptakan produk jurnalistik, baik cetak maupun elektronik, yang dipandang masyarakat sebagai produk jurnalistik berkelas dan kredibel.
Namun di balik itu, kita juga mengetahui bahwa bagi kaum konglomerasi multi-industri seperti ini media massa yang mereka dirikan pada hakikatnya tidak digunakan untuk mengawal kepentingan nasional, melainkan mengamankan kepentingan korporasi. Media massa bagi kaum ini adalah unit ekonomi yang memiliki tujuan tunggal, yakni memaksimalisasi keuntungan. Atau setidaknya, merupakan bagian dari sistem korporasi besar yang mereka ciptakan dengan tugas khusus yaitu mengamankan “kapal induk” dari berbagai ancaman bahaya pihak luar (baca: lawan bisnis). Pemilik modal, kaum konglomerasi-korporasi multi-industri tadi bersembunyi di balik jargon kebebasan pers yang diperjuangkan di era reformasi. Sehingga pada akhirnya, kita sama-sama menyaksikan betapa industri media massa pun seakan menjadi tirani baru.
Contoh klasik yang sering diutarakan adalah tentang stasiun televisi yang menggunakan frekuensi milik negara. Bagaimana mungkin frekuensi yang merupakan ranah publik itu digunakan untuk kepentingan kelompok dan apalagi pribadi. Berapa banyak potensi kerugiaan negara dalam kasus ini. Mengapa pemerintah berdiam diri dan tidak berani terhadap perusahaan media yang seperti itu? Mengapa masyarakat tidak mengajukan clash action untuk melawan perusahaan media, sekali lagi perusahaan media, seperti ini?
Juga bukan sesuatu yang aneh bila kita mendengar sebuah konglomerasi mendapatkan kemudahan dari pemeirntah karena konglomerasi itu memiliki media. Dalam konteks seperti inilah kita bisa menyaksikan dengan mata telanjang betapa media digunakan kaum korporasi-konglomerasi sebagai alat untuk menakut-nakuti dan menekan pemerintah agar memberikan berbagai fasilitas tadi.
Tidak sedikit insan pers yang bekerja di perusahaan media, baik cetak maupun elektronik, dalam rangka memperjuangkan kepentingan politik dan ekonomi sang pemilik. Media massa yang seperti ini pada hakikatnya telah menjelma menjadi anjing penjaga kepentingan pemodal. Dan sejak saat itu gugurlah predikatnya sebagai media massa.
Di sisi lain insan pers yang menyadari hal ini sebaiknya segera berpikir ulang. Wartawan tidak boleh menyerah pada kapital dan pemilik modal. Kalau tidak bisa berkarya di sebuah media, dia bisa keluar mencari tempat lain yang jauh lebih baik. Tempat dimana ia bisa mencatat sejarah.
Sayangnya, dunia pers Indonesia seakan kehilangan imam yang dapat meng-encourage komunitas insan pers Indonesia untuk kembali ke khittah perjuangan mengawal kepentingan nasional.
Belum ditemukan organisasi profesi media yang mengambil peran untuk mengingatkan kembali tugas suci ini. Tidak juga Dewan Pers yang diharapkan menjadi benteng kebebasan pers di Indonesia pasca Orde Baru.
Sejauh ini, Dewan Pers hanya bertaji manakala harus mengevaluasi produk jurnalistik yang dipersoalkan oleh sebagian masyarakat, umumnya kaum yang memiliki kekuasaan. Dewan Pers tidak pernah terlibat dalam pembicaraan yang intensif dan ekstensif untuk menghadapi prilaku kaum korporasi multi-industri yang memanfaatkan prinsip kebebasan pers demi mempertahankan kepentingan sempit mereka.
Bagi penulis, Dewan Pers yang ada saat ini bahkan merupakan ironi. Betapa tidak. Dewan Pers dipimpin oleh mantan hakim agung yang sebelumnya merupakan objek fungsi kontrol media.
Bukan sama sekali tidak ada yang dilakukan oleh organisasi profesi jurnalis. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), misalnya, baru-baru ini mengumumkan rencana mendirikan sekolah jurnalistik untuk menciptakan insan pers yang berkualitas. Tetapi tidak cukup sampai disitu. PWI, juga organisasi jurnalis lainnya, harus bangkit untuk memperjuangan tujuan yang lebih besar.
Pers Indonesia di masa kini berjuang untuk menegakkan demokrasi Indonesia Raya, yakni demokrasi yang akan berujung pada kesejahteraan rakyat di seluruh negeri Indonesia tanpa terkecuali.
Bagaimana bila ada elemen pers Indonesia yang lari komitmen kebangsaan?
Menurut hemat penulis, adalah publik yang harus menghukum media yang mengabaikan kepentingan nasional dan masyarakat banyak, dan yang hanya berpihak kepada kepentingan partai politik, segelintir kelompok kepentingan ekonomi, atau bahkan pemilik modal.
Wallahualam. [***]
Penulis adalah jurnalis senior, pengamat media dan pendiri Inilah.Com.
Sumber : http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=25187

0 comments:

Posting Komentar