Kamis, 28 April 2011

Pers yang Menahan Diri dari Perselingkuhan Politik

Senin, 18 April 2011 , 07:23:00 WIB


ILUSTRASI/IST
  

PRAKTIK demokrasi yang sehat hanya akan terjadi bilamana keempat pilar penopang demokrasi tidak saling selingkuh dan membuat kesepakatan jahat untuk sama-sama menutup mata terhadap kebobrokan yang terjadi di antara mereka. Bila hal ini dilanggar, maka celakalah kita. Karena itulah sesungguhnya saat dimana demokrasi menjelma menjadi demokrasi kriminal, praktik politik yang menggunakan slogan demokrasi untuk melakukan tindakan yang melawan kepentingan publik.
Kasus anggota DPR yang baru-baru ini tertangkap oleh lensa kamera pers sedang menonton video porno di ruang rapat paripurna adalah satu contoh kecil yang memperlihatkan keberanian pers untuk tidak berselingkuh. Bisa saja peristiwa yang terekam lensa itu dibiarkan mengendap. Tetapi, seperti yang telah sama kita ketahui, yang terjadi adalah: kasus yang cukup memalukan dan mencoreng nama baik Dewan itu dibongkar sedemikian rupa. Sang anggota Dewan telah menyadari kesalahan dan akhirnya bersedia mengundurkan diri dari DPR.
Walau dianggap kecil, namun kasus ini memperlihatkan bagaimana semestinya pers bersikap. Di sisi lain yang lebih luas, ini adalah preseden baik bagi demokrasi Indonesia.
Ketika ketiga pilar lainnya terlibat dalam perselingkuhan politik; media massa dan insan pers harus berani mengambil garis demarkasi yang jelas lagi tegas serta berdiri di pihak masyarakat. Pers adalah jendela demokrasi, yang dibutuhkan masyarakat untuk mengawal dan mengontrol perjalanan demokrasi. Pers juga merupakan alat untuk mengukur dan mengawal komitmen dan janji politik yang disampaikan elite politik di ajang kontestasi politik.
Pers lah yang seharusnya berperan besar dalam menentukan apakah pelaksanaan dari janji-janji politik itu tetap searah dan sejalan dengan cita-cita founding fathers Indonesia. Untuk bisa melakukan tugas berat itu insan pers harus memiliki semangat independensi yang tinggi serta tidak menyerah dan tunduk pada bujuk rayu kekuatan politik manapun yang mengajaknya berselingkuh.
Karena sedemikian besar tanggung jawab yang dibebankan di atas pundak pers, maka tidak bisa tidak, media massa harus mempunyai visi yang jelas. Harus peduli pada proses politik. Juga harus memiliki keberanian untuk mengarahkan perjalanan politik Indonesia ke arah yang benar, yakni arah cita-cita pendiri bangsa.
Insan pers harus terus mengingatkan semua kalangan, elite dan masyarakat, bahwa Indonesia tidak hanya milik manusia Indonesia yang hidup di masa ini. Melainkan juga milik manusia Indonesia yang hidup di masa lalu, yang memperjuangkannya dan menjadikannya alat untuk mencapai kesejahteraan umum. Pun, Indonesia adalah milik generasi di masa yang akan datang. Insan pers harus memiliki keberanian untuk melawan semua tindakan yang berseberangan dengan semangat itu.
Benar bahwa apa yang kita kenal sebagai Indonesia adalah sebuah negara yang masih terbilang muda. Baru berusia enam dekade. Tetapi Indonesia bukan bangsa kecil. Ia pernah begitu besar sehingga disegani lawan dan dihormati kawan. Indonesia pernah menjadi pemerakarsa Gerakan Non Blok. Indonesia juga pernah membuat Olimpiade tandingan yang diikuti oleh begitu banyak negara yang tidak ingin terkooptasi oleh negara manapun. Bila kita melihat ke belakang, kepada hal-hal seperti itu, maka jelas bagi kita semua bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar.
Untuk kembali bangkit, rakyat Indonesia membutuhkan pemimpin yang bisa mengatakan hal itu dengan tegas. Pemimpin yang dapat mengatakan dengan tegas hal itu pun harus membuktikan dengan kerja keras. Bila tidak ada tokoh seperti itu di negeri ini, maka insan pers yang harus mengambil alih tanggung jawab dan pekerjaan besar tersebut. Katakan kepada rakyat Indonesia betapa Indonesia adalah negara yang besar. Hanya praktik demokrasi kriminal, yang dihasilkan perselingkuhan politik di kalangan elite, yang telah membuat Indonesia porak poranda sedemikian rupa.
Setiap janji pemimpin harus ditagih. Bila tidak ada rakyat yang berani menagih janji itu, maka insan pers kembali harus mengambil alih tugas, tagihlah janji itu. Tagihlah janji yang disampaikan Presiden SBY pada pemilihan 2004 dan 2009 lalu. Tagihlah janji yang juga disampaikan wakil rakyat di masa kampanye. Berikan kesempatan kepada mereka untuk bekerja keras membuktikan dan memenuhi janji itu.
Berjanji adalah hal yang biasa dalam praktik politik di negara demokratis manapun. Demikian juga, menagih janji pemimpin pun merupakan hal yang biasa. Pers harus terus mengingatkan hal ini.
Berbeda pendapat juga bukan hal yang diharamkan dalam praktik demokrasi. Sebaliknya, perbedaan pendapat dibutuhkan sehingga tidak ada dominasi kebenaran. Tetapi demokrasi yang sehat tidak sekadar membutuhkan perbedaan pendapat. Lebih dari itu, ia membutuhkan perbedaan pendapat yang sehat pula, perbedaan pendapat yang tidak didasarkan pada kebencian dan perbedaan pendapat yang dimaksudkan sebagai bagian dari pembalasan dendam.
Dan sekali lagi, insan pers harus bisa berperan dalam menyaring perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat. Insan pers memiliki kemampuan dan alat ukur untuk bisa menilai mana perbedaan pendapat yang didasarkan pada kebencian, dan mana perbedaan pendapaat yang memang dimaksudkan untuk kemaslahatan.
Bagi perbedaan pendapat jenis pertama, sikap insan pers harus tegas: tolak. Dan untuk perbedaan pendapat jenis kedua, sikap insan pers pun harus sama tegas: dukung dan biarkan terus berkembang sehingga terjadi dialektika yang produktif dan bukan kontraproduktif. [***]
Muchlis Hasyim adalah jurnalis senior, pengamat media, dan pendiri Inilah.Com.
Sumber : http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=24421

0 comments:

Posting Komentar