Saldi Isra
Sikap Ketua DPR Marzuki Alie jadi gambaran bagaimana elite politik menutup mata hatinya atas suara-suara yang berkembang.
Tak hanya itu, kuasa formal yang ia miliki menempatkan pemimpin DPR seperti berada dalam lingkaran kekuasaan yang tak tersentuh pihak lain. Bahkan, boleh jadi dengan kuasa formal itu pula Marzuki tak sedikit pun merasa bersalah menyatakan bahwa rakyat biasa jangan diajak membahas pembangunan gedung baru. Bagi Marzuki, pembicaraan rencana pembangunan gedung DPR hanya untuk kaum elite. Orang-orang pintar yang bisa diajak bicara soal itu.
Sebetulnya, selain mengabaikan keberatan orang banyak, kalimat naif itu juga menegasikan segala bentuk penolakan dan perbedaan di lingkungan DPR sendiri. Berdasarkan catatan yang ada, Fraksi PAN dan Fraksi Gerindra secara eksplisit menolak. Fraksi PDI-P secara resmi minta penundaan rencana pembangunan gedung baru. Suara berbeda di dalam makin terasa dengan adanya penolakan terbuka sejumlah anggota DPR.
Mengapa pemimpin DPR dan beberapa pemimpin fraksi di bawah ”garis komando” Marzuki bergeming dan seperti kehilangan akal sehat merespons gelombang penolakan pembangunan gedung baru DPR ini? Pertanyaan ini jadi begitu penting di tengah keabsurdan alasan dan sikap partai politik melanjutkan pembangunan gedung DPR. Beberapa hari terakhir penolakan mengalir deras dari segala penjuru. Bahkan Presiden Yudhoyono pun telah memberi isyarat untuk membatalkan rencana pembangunan gedung baru ini.
Namun, sebagaimana ditulis dalam Tajuk Rencana Kompas (11/4), pemimpin DPR dan pemimpin fraksi seakan-akan memegang kemutlakan meneruskan pembangunan gedung senilai lebih dari Rp 1,1 triliun itu. Padahal, hampir dapat dipastikan pilihan melanjutkan pembangunan gedung ini akan memerosotkan popularitas DPR ke titik nadir.
Menutup mata hati
Dari aspek hukum tata negara, sikap pemimpin DPR menutup mata hati terhadap segala bentuk penolakan sangat mungkin terjadi karena proses kehadiran mereka sebagai pemimpin. Berdasarkan UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), pemimpin DPR tak dipilih melalui proses demokratis. Pasal 82 Ayat (1) UU MD3 menyatakan, pemimpin DPR terdiri dari seorang ketua dan empat wakil ketua yang berasal dari parpol berdasarkan urutan perolehan kursi di DPR.
Karena ketentuan itu, anggota DPR kehilangan salah satu hak paling mendasar menentukan siapa di antara anggota DPR yang paling layak dipilih menjadi pemimpin DPR. Dalam hal ini penjelasan Pasal 83 Ayat (1) UU MD3 menyatakan, bahwa parpol dengan perolehan kursi terbanyak di DPR berhak mengisi kursi pemimpin yang diajukan pemimpin parpol untuk ditetapkan menjadi pemimpin DPR. Membenarkan penentuan pemimpin DPR dilakukan parpol sama saja dengan membonsai DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Bila dibandingkan dengan pengisian pemimpin DPR 2004-2009, misalnya, proses kehadiran pemimpin DPR 2009-2014 dapat dikatakan amat jauh dari nilai-nilai demokratis yang seharusnya dipraktikkan dalam memilih pemimpin sebuah institusi yang menyandang predikat ”lembaga perwakilan rakyat”. Bisa jadi dengan maksud memelihara predikat lembaga perwakilan rakyat itu, pemimpin DPR 2004-2009 tetap dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam sidang paripurna.
Menggunakan sistem jatah, anggota DPR tak hanya kehilangan hak menentukan dan memilih pemimpin DPR, tetapi juga kehilangan instrumen untuk mengontrol pemimpin DPR. Karena itu, bila dalam rencana pembangunan gedung baru muncul semacam oligarki pemimpin DPR, itu bermula dari oligarki parpol dalam menunjuk figur yang akan menjadi pemimpin DPR. Celakanya, proses membangun oligarki mendapat pembenaran yuridis dalam UU MD3.
Ketika penolakan masyarakat tak mampu mengubah dan memengaruhi pemimpin DPR, ”langkah besar” parpol sangat dinantikan. Karena pemimpin DPR hadir melalui penunjukan, tanggung jawab terbesar ada di parpol. Sebagai representasi parpol, seharusnya parpol yang menolak dan/atau meminta menunda pembangunan gedung membuat perhitungan dengan wakil mereka di jajaran pemimpin DPR. Dalam konteks itu parpol seperti Partai Demokrat (PD) tak menunjukkan sikap jelas terhadap rencana pembangunan gedung. Setelah melihat sikap SBY, Marzuki tak membangun ”garis komando” untuk menghentikan atau menunda rencana tersebut.
Perang terbuka
Dengan sikap itu, pada salah satu sisi sebagian masyarakat membaca, Marzuki seperti sedang melakukan perang terbuka dengan SBY. Sementara di sisi lain partai pemenang Pemilu 2009 ini sepertinya tak membaca sikap Marzuki sebagai langkah yang berlawanan dengan kebijakan PD. Penilaian tak jauh berbeda layak pula diberikan kepada PDI-P. Sejauh ini parpol dengan jumlah kursi ”oposisi” terbesar di DPR itu berada pada posisi menunda pembangunan gedung DPR. Seharusnya dengan posisi itu Pramono Anung bertanggung jawab memperjuangkan sikap PDI-P di forum pemimpin DPR. Membaca sikap Pramono di tengah penolakan masyarakat, PDI-P sepertinya juga tak punya sikap jelas terhadap wakil mereka di jajaran pemimpin DPR.
Merujuk pengalaman rencana pembangunan gedung DPR, disadari bahwa bangunan politik negeri ini sulit mengontrol perilaku elite dan perilaku parpol. Sadar atau tidak, bangunan demikian telah menyuburkan elite dan parpol yang mati rasa. Lalu, sampai kapan kita membangun negeri ini di tengah lingkaran politik yang mati rasa itu?
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara; Ketua Program S-3 Ilmu Hukum; dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2011/04/14/03593787/politik.mati.rasa
0 comments:
Posting Komentar