Selasa, 12 April 2011

DPR, Demokrasi, "Distrust"

BUDIARTO DANUJAYA
Sebagai representasi demos—pengemban daulat rakyat—DPR merupakan satu-satunya lembaga negara yang sepenuhnya mengatur diri sendiri.
Sebagai legislator segenap aturan yang absah secara konstitusional, lembaga ini tidak hanya berwenang mengatur, tetapi juga membuat aturan bagi dirinya sendiri. Lalu, bagaimana kalau justru dia yang perlu diatur karena cenderung mengedepankan kepentingan sendiri?
Inilah kecemasan khalayak yang peduli terhadap kewarasan kehidupan bersama kita sebagai bangsa belakangan ini. Pemimpin DPR memutuskan tetap melanjutkan pembangunan gedung baru DPR. Kengototan ini bukan hanya tak menghiraukan pandangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terlebih lagi juga keberatan khalayak yang berbulan-bulan diluapkan lewat beragam cara.
Ini bukan yang pertama. Belum lama berselang, DPR mengabaikan keberatan masyarakat atas revisi kode etik DPR yang justru melonggarkan ruang untuk mengakomodasi pelanggaran kepantasan yang kerap dilakukan anggotanya. Kecenderungan peremehan itu barangkali paling gamblang terepresentasi lewat pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie: ”Rakyat biasa dari hari ke hari, yang penting perutnya berisi, kerja, ada rumah, ada pendidikan, selesai. Jangan diajak mengurus yang begini. Urusan begini, ajak orang-orang pintar bicara, ajak kampus bicara” ( Kompas , 2/4).
Fenomena lupa juragan
Orang menertawakan kecenderungan ini sebagai fenomena ”lupa juragan”. Bukankah pemegang daulat kuasa sesungguhnya adalah segenap warga negara sebagai demos sehingga DPR seharusnya menempatkan diri sekadar sebagai representasi ”orang banyak” tersebut?
Dalam kerangka diskursus demokrasi, gejala ini menimbulkan komplikasi artikulatoris pelik. Paradoks transisional pada representasi demokrasi, yakni rakyat tetap berdaulat, dalam arti dapat tetap memerintah dirinya sendiri walau negara sepenuhnya berdaulat, justru secara artikulatoris terpecahkan lewat asumsi ”optimistis” akan representasi fungsional para legislator sebagai variabel perantara.
Pascakontrak sosial, yakni ketika segenap demos bersepakat menyerahkan daulat kuasanya kepada negara, rakyat dapat tetap mempertahankan kedaulatan lantaran melalui para legislator representasi mereka tetap dapat mengatur pengejawantahan kuasa segenap lembaga negara lewat pembuatan hukum. Inilah solusi artikulatoris atas kepelikan transisional demokrasi representatif yang masyhur disebut paradoks Roussean. Negara hukum lalu bukan sekadar perkara keharusan menyelenggarakan kuasa negara secara konstitusional, melainkan juga ”menjalankan kuasa dalam batas-batas yang bermuasal dari pengakuan konstitusional atas hak-hak individu yang tak dapat diganggu gugat” (Bobbio:1987).
Jadi, semangat dasarnya justru jaminan konstitusional atas hak-hak warga negara sebagai individu karena kuasa negara merupakan pengejawantahan niscaya dari daulat kuasa individu dalam demos . Dalam derajat keabsahan keterlibatan tertentu, jaminan ini tentu saja mencakup hak berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan negara, seperti urun rembuk dalam penentuan kebijakan publik semacam pembangunan gedung DPR ini.
Oleh karena itu, dalam logika representasi fungsional demokrasi, peremehan semacam ini justru berbahaya karena membuat berantakan ikatan antara mereka yang diwakili ( demos ) dan mereka yang mewakili. Persoalannya, ikatan ini pada galibnya lebih bersandar pada asumsi ideal ( trust ) belaka ketimbang sungguh-sungguh legal-kontraktual.
Kecenderungan semacam ini pula yang membuat banyak pihak belakangan ini menuding para penguasa, termasuk parlemen, terus-menerus membuat kebohongan. Di samping lewat protes publik terbuka, reaksi serupa juga tecermin lewat kemerosotan berketerusan statistik keikutsertaan masyarakat pada pemilu kepala daerah, yang bisa diduga merupakan indikasi peningkatan keengganan masyarakat menjalankan partisipasi politik.
Keikutsertaan dan keterceceran
Menilik urgensi kita untuk tetap bersiteguh pada pemilahan spektrum kekuasaan agar tak kembali pada jebakan rezim kekuasaan yang memenuhi ruang politik (totaliter), Presiden bukanlah alamat yang tepat untuk meminta penghentian keputusan kontroversial ini. Terkecuali, tentu saja, jika manuver politik Presiden ditempuh lewat mekanisme internal dalam Partai Demokrat atau lewat mekanisme informal dalam Setgab Koalisi.
Peliknya, seperti diungkap JH Ely (1980), uji yudisial juga lebih tepat ditempatkan sebagai gugatan dalam rangka penyempurnaan partisipasi ketimbang ”kepatutan-kepatutan substantif pada pilihan politik dalam gugatan” semacam ini. Gamblangnya, uji yudisial lebih tepat untuk menggugat ketakmemadaian legal dalam menampung ”pluralitas” yang menyebabkan keterceceran minoritas kepentingan tertentu. Barangkali cukup tepat jika uji yudisial diajukan atas SKB tiga menteri dalam perkara Ahmadiyah.
Meskipun demikian, menilik kemendesakan untuk juga tak membiarkan DPR mengedepankan kepentingannya sendiri, dapatkah kita mempertimbangkan pengecualian agar bisa membuat DPR lebih proporsional tanpa harus mendorong-dorong Presiden melampaui kewenangan eksekutifnya atau mengancamkan mobilisasi protes massa?
Keputusan politik pada dasarnya hanyalah keikutsertaan sementara yang sangat kontingen karena fondasi bagi finalitas dari konsensus politik dalam segenap keputusannya, misalnya finalitas kepaduan dari ikatan kelembagaan politik apa pun, senantiasa bersifat ”mitis” (Critchley:1999), dalam arti lebih mengandaikan utopia konsensual, padahal bergelut dalam praksis disensual.
Dalam terminologi Aristotelian, keikutsertaan dalam keputusan politik lebih mengandaikan kesepakatan keyakinan ( pistis ) ketimbang rasionalitas pengetahuan ( episteme ). Jadi, keabsahan legitimasi keputusan politik tak ada hubungannya dengan pintar versus bodoh, elite versus jelata, atau pendukung versus penampik, seperti pandangan Ketua DPR.
Menilik watak kontingen pada keikutsertaan dalam kesepakatan inilah demokrasi tak pernah luput dari ketidakpercayaan ( distrust). Selalu ada pihak yang tak terangkut dalam kecenderungan kebijakan yang dominan. Jadi, dalam produk hukum, kebijakan publik, bahkan keputusan politik lebih menyeluruh, pada galibnya minoritas kepentingan selalu saja tercipta tanpa harus ada hubungan dengan minoritas identitas yang relatif lebih permanen, seperti suku, etnis, agama, atau ideologi.
Kita selayaknya memikirkan proliferasi kelembagaan atau perluasan kewenangan kelembagaan yang telah ada, katakanlah Mahkamah Konstitusi, untuk mengatasi celah legal-prosedural dalam pemaksimalan pengujian dan penyeksamaan keterceceran kepentingan lebih luas. Dalam hal ini peristiwa-peristiwa merisaukan pada DPR kita hanyalah perwujudan akibat hilangnya rasa malu dan tenggang rasa.
BUDIARTO DANUJAYA Pengajar Filsafat Politik Departemen Filsafat FIB UI
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2011/04/13/04532431/dpr.demokrasi.distrust

0 comments:

Posting Komentar