Senin, 25 April 2011

"Quo Vadis" Otonomi Daerah?

R Siti Zuhro
April ini, sepuluh tahun sudah Indonesia memasuki era otonomi daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah tak hanya menandai sistem sentralistis berakhir, tetapi juga langkah penting bagi daerah menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik: melayani dan menyejahterakan rakyat. Apakah setelah satu dekade, otonomi daerah sesuai dengan harapan rakyat?
Satu dekade relatif singkat me- wujudkan impian terdalam rakyat. Apalagi, karakteristik daerah di Indonesia sangat beragam: geografi, sumber daya alam, sumber daya manusia, ekonomi, etnisitas, agama, dan budaya. Namun, janganlah hendaknya hal ini dijadikan apologi. Ia harus disikapi sebagai tantangan untuk menyemangati perwujudan keadilan dan kemakmuran rakyat.
Praktik otonomi daerah masih jauh dari tujuan utamanya. Dua indikator menjelaskan hal ini. Pertama, kualitas pelayanan publik masih rendah. Baru sekitar 10 persen dari 524 daerah (33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota) mampu melakukan yang terbaik dalam pelayanan publik.
Kedua, jumlah penduduk miskin dan penganggur terbuka masih cukup tinggi, masing-masing sekitar 31,02 juta dan 8,59 juta jiwa (BPS, 2010). Kenyataan itu tentu bertolak belakang dengan tujuan otonomi mempercepat kesejahteraan rakyat terwujud.
Sejauh ini soal utama pelaksanaan otonomi daerah tak hanya komitmen politik para elite yang rendah, tetapi juga pengawasan, pengawalan, dan penegakan hukum yang kurang.
Pelaksanaan pilkada sejak 2005 turut memengaruhi kinerja pemerintah daerah. Umum diketahui, pilkada sarat dengan praktik politik uang sehingga sulitlah diharapkan kepala daerah terpilih yang punya integritas, kapasitas, dan keberpihakan kuat kepada kesejahteraan rakyatnya.
Pelopor terdepan
Seharusnya kepala daerah terpilih jadi pelopor terdepan melawan politik uang sambil membangun sistem kerja birokrasi berdasarkan imbalan dan hukuman serta menciptakan program pembangunan yang berpihak kepada rakyat, bukan aparat, sebagai konsekuensi logis janji kampanye mereka.
Faktanya hanya sebagian kecil kepala daerah memenuhi komitmennya membuat yang terbaik dalam pelayanan publik. Sebagian besar sibuk mengurus diri dan kelompoknya.
Kegagalan otonomi daerah 10 tahun ini juga disebabkan kesan elitis: lebih melibatkan eksekutif dan legislatif daerah dan mengesampingkan partisipasi publik serta memperlihatkan kepentingan elite pusat. Dalam pembuatan UU, misalnya, aspirasi dan kepentingan daerah banyak yang tak terakomodasi dengan baik. Tak sedikit program pembangunan ekonomi yang sia-sia lantaran proses pembuatan program dan pelaksanaannya mengabaikan partisipasi rakyat.
Sebagai pemilik kedaulatan, partisipasi rakyat dalam otonomi daerah seharusnya dilihat sebagai sebuah keniscayaan. Persepsi yang menganggap bahwa rakyat tak cukup pintar untuk terlibat dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan program-program pembangunan yang berkenaan dengan hajat hidupnya sendiri merupakan persepsi yang menistakan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Justru dengan keterlibatannya yang tinggi, masyarakat kian menyadari hak dan kewajibannya sebab sejatinya rakyat bukanlah pihak yang tak tahu diri, apalagi tak tahu berterima kasih.
Secara umum, ada empat tantangan dalam pelaksanaan otonomi daerah selama ini. Pertama, tumpang tindih peraturan yang membingungkan daerah. Dampaknya, tak hanya hilangnya legalitas peraturan yang ditetapkan daerah, tetapi juga telah melahirkan banyaknya peraturan daerah bermasalah.
Kedua, persepsi sepihak daerah tentang kewenangan. Tak sedikit kepala daerah yang sempit memahami otonomi daerah: sebagai pihak yang diberi wewenang luas mengatur daerahnya. Selain mengaburkan relasinya dengan struktur pemerintahan di atasnya, persepsi ini juga turut menyuburkan munculnya raja-raja kecil di daerah.
Ketiga, kerumitan pengelolaan hubungan wewenang antardaerah dan antarjenjang pemerintahan. PP Nomor 38 Tahun 2007 yang memayungi kewenangan daerah dinilai sangat rumit, amat sektoral, dan membingungkan daerah.
Keempat, kolaborasi elite dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah yang muncul sebagai akibat langsung dari politik transaksional dalam pilkada. Olehnya, birokrasi cenderung tak profesional dan netral sehingga menghambat fungsi pelayanan publik dan memunculkan kebijakan yang tak probisnis.
Yang mendesak
Di tengah kegamangan otonomi daerah seperti itu, tak sedikit elite politik lokal dan pusat yang melihat otonomi daerah sebagai ladang baru beroleh kekuasaan. Dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, banyak di antara mereka yang menjadikan isu pemekaran daerah sebagai obat mujarab kegagalan otonomi daerah.
Dalam kurun 1999-2010, jum- lah daerah otonom baru mencapai 205 (7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota). Alih-alih mempercepat kesejahteraan rakyat, pemekaran daerah hanya memperberat APBN.
Yang mendesak dilakukan: reformasi kelembagaan daerah dan atau birokrasi lokal, secara konseptual maupun komprehensif, yang mencakup perbaikan birokrasi di pusat sampai daerah. Kemudian perbaikan penyelenggaraan pilkada di 398 kabupaten dan 93 kota untuk melahirkan kepala daerah yang sesuai dengan harapan rakyat dan memperkecil terjadinya konflik, kerusuhan, dan amuk massa dalam pilkada yang hanya berujung pada penderitaan rakyat.

R Siti Zuhro Peneliti Utama LIPI
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/26/02523128/Quo.Vadis.Otonomi.Daerah

0 comments:

Posting Komentar