Selasa, 19 April 2011

Rasa Iba Presiden

Oleh  IVAN A HADAR

Akhir Februari lalu Presiden Yudhoyono yang iba melihat masih banyak rakyat tinggal di kolong jembatan menjanjikan rumah murah seharga Rp 5 juta-Rp 10 juta dengan skema kredit lunak.
Saat ini kebutuhan perumahan di Indonesia diperkirakan 7 juta-8 juta unit. Ini angka yang sangat besar meski sebenarnya belum menggambarkan keadaan karena tak mempertimbangkan sekian juta keluarga yang tinggal di rumah-rumah yang tidak memenuhi standar kelayakan.

Sebagai anggota Habitat Internasional, Indonesia sebenarnya telah meratifikasi klausul rumah layak huni sebagai kebutuhan dasar. Konstitusi pun dengan tegas mengatakan, ”Negara berkewajiban mengadakan rumah yang layak bagi rakyat Indonesia” (UUD 1945 Pasal 48 H).
Dalam sistem perumahan yang baik, peran pemerintah terutama memastikan bahwa sumber daya dasar perumahan, yaitu lahan, bangunan, infrastruktur, dan fasilitas kredit lunak, dapat diakses oleh mayoritas rakyat.
Secara teknis, teori tentang krisis perumahan dan solusinya bisa dibagi dalam dua kelompok paradigma. Kelompok pertama melihat perumahan sebagai ”persoalan akses”, sementara kelompok kedua menganggapnya sebagai ”persoalan kebersihan/kesehatan/keteraturan”.
Spekulasi lahan
Bagi kelompok pertama, krisis perumahan identik dengan tingginya harga lahan karena kepemilikan yang tak produktif, spekulasi lahan dan bangunan, ataupun pengendalian stok rumah dan kapling oleh segelintir orang. Teori ini ”menelanjangi” perilaku melenceng para pengembang perumahan.
Kritik terhadap spekulasi lahan dan properti ini banyak didukung para pemikir progresif, perencana dan politisi kota. Di beberapa negara, pandangan ini berhasil memicu gerakan reformasi perumahan. Solusi yang ditawarkan berangkat dari masalah keuangan, seperti kurangnya dana pembangunan rumah sederhana, tingginya bunga kredit perumahan, maraknya manipulasi hipotek untuk pelelangan lahan, dan rendahnya penghasilan.
Teori kedua mereduksi masalah perumahan menjadi sekadar persoalan peremajaan kampung, persoalan budaya, khususnya budaya kemiskinan, serta persoalan kurangnya pengawasan negara yang berdampak terhadap mekarnya perumahan kumuh. Berbagai asumsi ini mewarnai kebijakan perumahan banyak negara, termasuk di Indonesia.
Maraknya korupsi di sektor perumahan yang disubsidi pemerintah memang membuat frustrasi. Mereka yang idealis kemudian menghidupkan pembangunan perumahan lewat koperasi perumahan mandiri. Mereka percaya pada ”daya gulir” langkah-langkah kecil pembangunan perumahan.
Namun, berbagai inisiatif ini makin jauh dari prinsip solidaritas dan kian terperangkap dalam ketergantungan bantuan pihak luar. Dilemanya: membantu mereka yang lemah dengan dana terbatas menghasilkan bangunan rumah berkualitas rendah atau hanya bisa membangun beberapa proyek rintisan. Maka, pada skala luas dan sistemis, belum banyak terjadi perubahan kondisi perumahan di Indonesia.
Beberapa pelajaran dari mancanegara kiranya bermanfaat sebagai masukan dalam upaya mencari sistem perumahan yang sesuai kondisi saat ini. Singapura adalah contoh dominannya peran pemerintah dalam mengatasi masalah perumahan. Negeri pulau ini membentuk housing development board (HDB) yang memiliki akses penguasaan tanah murah serta mengontrol 65 persen suplai rumah, yaitu pangsa pasar menengah bawah.
HDB dinilai sukses membangun rumah dan disewakan kepada masyarakat menengah bawah. Singapura juga memiliki central providence fund, yakni dana yang dihimpun dari masyarakat lewat pemotongan gaji untuk
perumahan. Di Indonesia, lahan tidur yang disita dari pengembang besar bermasalah bisa dialihkan peruntukannya bagi perumahan menengah bawah.
Kembangkan tabungan
Tabungan Perumahan (Taperum) bisa dikembangkan agar cakupan menjadi lebih luas. Ini melanjutkan beberapa hal yang sudah berjalan, seperti insentif pajak, kredit murah, dan sejenisnya, kepada para pengembang yang membangun perumahan bagi masyarakat menengah bawah. Jerman dan Belanda sudah konsisten melaksanakannya.
Bagi pengembang, tingkat keuntungan membangun rumah bagi lapis sosial menengah bawah memang relatif kecil. Namun, tingkat kepastian memperoleh keuntungan nyaris 100 persen. Tak heran kalau 45 persen perumahan di Jerman dibangun oleh pengembang jenis ini. Mereka yang ingin keuntungan lebih harus mengikuti aturan pasar yang berisiko tinggi.
Dari semua paparan di atas, sebenarnya terdapat peluang untuk menyelesaikan krisis perumahan di Tanah Air. Kemauan politik pemerintah dan kemauan semua pihak mencari keseimbangan di antara berbagai kepentingan pelaku perumahan adalah dua persyaratan utama yang harus dipenuhi. Selebihnya adalah masalah teknis.
Penyelesaian menyeluruh dan langgeng terletak pada berfungsinya sistem yang mampu jadi penyeimbang antara pasar dan hak sosial mereka yang belum mampu. Dalam konteks inilah rasa iba Presiden Yudhoyono terhadap rakyat miskin perlu dituangkan dalam konsep dan tindakan konkret dalam upaya pembentukan dan implementasi sistem perumahan di Indonesia. Bukan sekadar pencitraan semata.
IVAN A HADAR Arsitek Pengamat Perumahan; Anggota Pokja Forum Kawasan Timur Indonesia
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/19/0450146/rasa.iba.presiden

0 comments:

Posting Komentar