Senin, 27
February 2017 08:33 WIB
Penulis:
Teguh Dartanto, Kepala Kajian Kemiskinan dan Perlindungan Sosial LPEM, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
LAPORAN Oxfarm dan INFID (2017) serta
Bank Dunia (2015) menyadarkan kita semua bahwa di tengah kemajuan perekonomian
dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir
telah menyala api dalam sekam. Bara yang tak kunjung padam itu ialah sebuah
kenaikan ketimpangan pendapatan dalam masyarakat. Badan Pusat Statistik
menunjukkan indeks Gini sebagai ukuran ketimpangan mengalami kenaikan dari
0,34 (2005) menjadi 0,41 (2011) dan 0,40 (2016). [Dartanto et al forthcoming].
Dengan menggunakan ukuran rasio penguasaan kue ekonomi (pengeluaran) dari 10%
penduduk teratas jika dibandingkan dengan 10% penduduk terbawah, ketimpangan
mengalami peningkatan yang cukup tajam dari 6,6 (1996), 7,77 (2005), menjadi
10,67 (2014). Laporan Oxfarm dan INFID (2017) jauh mengerikan, empat orang
terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar jika dibandingkan dengan
kekayaan 100 juta penduduk termiskin di Indonesia.
Makna di balik angka
Angka di atas memberikan gambaran
bahwa kue ekonomi terkonsentasi di kelompok masyarakat kelas atas. Manfaat
pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun terakhir lebih banyak dinikmati 10%
kelompok terkaya jika dibandingkan dengan oleh kelompok masyarakat lainnya,
atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak inklusif. Ketimpangan
layaknya api dalam sekam, tidak terlihat secara kasatmata, tetapi tanpa solusi
nyata, api ini akan dapat meluluhlantakkan bangunan Indonesia.
Berbagai studi menunjukkan
ketimpangan merupakan katalis dari kecemburuan sosial masyarakat, konflik
sosial, dan kegaduhan politik. Coudouel, Dani, dan Paternostro (2006)
menyatakan meskipun ketimpangan tidak sampai menimbulkan guncangan sosial dan
politik, ketimpangan akan menimbulkan resistensi masyarakat terhadap berbagai
reformasi kebijakan yang dilakukan pemerintah. Sejarah juga mencatat, tanpa
menafikan faktor lainnya, kerusuhan sosial 1998 juga diawali dari kenaikan
indeks Gini yang cukup tajam dari 0,292 (1990) menjadi 0,36 (1996).
Meningkatnya kesejahteraan
masyarakat yang tidak merata telah mengubah persepsi masyarakat mengenai apa
itu kemiskinan. Kemiskinan tidak lagi dipandang sebagai kekurangan sandang,
pangan, dan papan, tetapi kemiskinan bersifat relatif terhadap kepemilikan
orang lain. Dartanto dan Otsubo (2013) menunjukkan orang akan merasa miskin
jika orang lain memiliki lebih banyak jika dibandingkan dengan dirinya.
Perubahan persepsi kemiskinan, peningkatan ketimpangan, rendahnya literasi
membaca serta meningkatnya angka pengangguran usia muda ditengarai sebagai
faktor meningkatnya kegaduhan di media sosial serta perilaku intoleransi di
Indonesia yang pada akhirnya dapat mengancam rajutan kebangsaan Indonesia.
Solusi ketimpangan
Bahaya ketimpangan telah
mengancam di depan mata. Perlu upaya dan kebijakan nyata untuk
menanggulanginya. Secara konseptual, pengurangan ketimpangan dapat dilakukan
melalui tiga cara: 1) melakukan distribusi kekayaan dari kelompok atas ke
kelompok bawah, 2) mendorong perkembangan kelas menengah (kelompok 40%-80%)
karena indeks Gini sangat sensitif terhadap perubahan di kelas menengah, 3) pertumbuhan
inklusif dengan kelompok masyarakat bawah harus tumbuh lebih cepat jika
dibandingkan dengan kelompok masyarakat atas.
Berbeda dengan kebijakan
pengentasan rakyat dari kemiskinan, kebijakan pengurangan ketimpangan akan
penuh kontroversi dan penolakan masyarakat khususnya kelompok kelas menengah
atas. Distribusi kekayaan dari kelompok atas akan penuh kontroversi karena
dengan kekuatan sumber daya mereka, mereka mampu memengaruhi politisi untuk
menghambat setiap kebijakan yang ada. Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan
ketimpangan harus lebih kreatif, inovatif, dan komprehensif sehingga akan
mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat.
Kerangka konseptual kebijakan di
atas dapat diterjemahkan menjadi lima kebijakan utama yang dapat dilakukan pemerintah
untuk menurunkan ketimpangan di Indonesia, antara lain, pertama, peningkatan
tax ratio dan kepatuhan pembayaran pajak. Rasio perpajakan di Indonesia
termasuk yang paling rendah di kawasan ASEAN sehingga pemerintah tidak banyak
memiliki ruang fiskal untuk membiayai pembangunan.
Peningkatan rasio pajak merupakan
cara untuk mendistribusikan kekayaan dari kelompok atas untuk kelompok di
bawahnya. Kenaikan rasio pajak berarti meningkatkan transfer dari kelompok
kayak ke kelompok miskin. Selain itu, kebijakan perpajakan seperti tax amnesty
akan berdampak terhadap ketimpangan sangat tergantung seberapa besar tebusan
yang dibayarkan serta bagaimana memanfaatkan informasi perpajakan dalam tax
amnesty untuk meningkatkan rasio pajak.
Kedua, kebijakan perpajakan
merupakan cara konvensional untuk melakukan redistribusi kekayaan kelompok
atas, kebijakan pajak sangat progresif akan mendorong penggelapan dan
penghindaran pajak dari kelompok atas. Oleh karena itu, sistem redistribusi
dapat dilakukan dengan mendorong adanya personal social responsibility (PSC)
dengan kelompok kaya didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan filantrofi
untuk membantu menyelesaikan permasalahan di masyarakat.
Saat ini, kegiatan filantrofi
menjadi sebuah tren tersendiri di kalangan kelompok kaya. Pemerintah dapat
memberikan insentif perpajakan (pemotongan pajak, bukan pengurangan pajak)
untuk kegiatan PSC ini. Secara alami, kelompok kaya akan lebih senang
menyalurkan kekayaan mereka melalui filantrofi jika dibandingkan dengan untuk
membayar pajak. Kegiatan filantrofi dapat diarahkan pada kegiatan pendidikan,
kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Ketiga, keterpaduan antara
pengembangan sumber daya manusia dan peta jalan transformasi perekonomian. [Dartanto
et al (forthcoming)] menunjukkan transformasi struktural dari sektor pertanian
menuju sektor industri dan jasa yang tidak terarah merupakan salah satu
penyebab ketimpangan di Indonesia. Perkembangan sektor jasa yang meningkat
selama 20 tahun terakhir tidak dibarengi peningkatan keterampilan sumber daya
manusia yang mendukung perkembangan sektor jasa. Atau dengan kata lain terjadi
skill mismatch antara lulusan dunia pendidikan dan kebutuhan dunia kerja.
Kondisi itu memunculkan adanya banyak pengangguran terdidik sehingga
perkembangan perekonomian tidak berdampak bagi penciptaan lapangan kerja.
Keempat, pemberantasan korupsi
dan perbaikan tata kelola pemerintahan. Korupsi yang pastinya dilakukan
kelompok atas (berkuasa) merupakan salah satu bentuk regressif transfer dengan
sumber daya mengalir dari kelompok bawah menuju ke kelompok atas, sebagai
contohnya, korupsi dana bantuan sosial untuk masyarakat miskin. Dartanto et al
(2016) menunjukkan pemberantasan korupsi dapat mengurangi ketimpangan di Indonesia
karena mampu menghentikan transfer sumber daya dari kelompok miskin ke kelompok
kaya.
Kelima, perlindungan sosial bagi
kelompok miskin dan rentan miskin melalui kebijakan kesehatan, pangan, pendidikan
dan perumahan. Kebijakan itu bertujuan memberikan jaring pengaman kepada
kelompok miskin dan hampir miskin sehingga mereka bisa bekerja dan berusaha
lebih baik. Meskipun begitu, keinginan berbagai pihak terkait dengan kebijakan
perlindungan sosial seperti pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional
melalui tax funded (tanpa kontribusi) untuk seluruh masyarakat harus dipikirkan
secara hati-hati karena terkait dengan kesinambungan fiskal di masa yang akan
datang.
Di sisi lain, pemerintah juga harus
hati-hati dalam melakukan kebijakan penanggulangan ketimpangan karena berbagai
kebijakan bisa jadi saling kontradiksi dengan kebijakan yang lain, yang pada
akhirnya kebijakan tersebut tidak efektif untuk menanggulangi ketimpangan.
Salah satu contohnya ialah kebijakan pembangunan infrastruktur besar-besaran
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi akan dapat meningkatkan ketimpangan
perekonomian.
Manfaat ekonomi pembangunan
infrastruktur skala besar akan lebih banyak dirasakan perusahaan besar yang
bersifat capital intensive. Karena itu, perlu adanya sinkronisasi antara proyek
infrastruktur skala nasional dan proyek infrastruktur lokal. Kita patut
memberikan apresiasi terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah
Jokowi yang sedikit banyak telah menurunkan indeks Gini, tetapi tren penurunan
itu sangat jauh seperti yang diharapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN). Tidak ada cara instan dan keajaiban semalam untuk
menurunkan angka ketimpangan, dibutuhkan kerja keras, cerdas, dan terus-menerus
untuk menurunkan angka ketimpangan.
Senin, 27
February 2017 08:33 WIB
Penulis:
Teguh Dartanto, Kepala Kajian
Kemiskinan dan Perlindungan Sosial LPEM, Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia
LAPORAN Oxfarm dan INFID (2017)
serta Bank Dunia (2015) menyadarkan kita semua bahwa di tengah kemajuan
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, dalam kurun waktu 10
tahun terakhir telah menyala api dalam sekam. Bara yang tak kunjung padam itu
ialah sebuah kenaikan ketimpangan pendapatan dalam masyarakat. Badan Pusat
Statistik menunjukkan indeks Gini sebagai ukuran ketimpangan mengalami
kenaikan dari 0,34 (2005) menjadi 0,41 (2011) dan 0,40 (2016). [Dartanto et al
forthcoming]. Dengan menggunakan ukuran rasio penguasaan kue ekonomi
(pengeluaran) dari 10% penduduk teratas jika dibandingkan dengan 10% penduduk
terbawah, ketimpangan mengalami peningkatan yang cukup tajam dari 6,6 (1996),
7,77 (2005), menjadi 10,67 (2014). Laporan Oxfarm dan INFID (2017) jauh
mengerikan, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar jika
dibandingkan dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin di Indonesia.
Makna di balik angka
Angka di atas memberikan gambaran
bahwa kue ekonomi terkonsentasi di kelompok masyarakat kelas atas. Manfaat
pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun terakhir lebih banyak dinikmati 10%
kelompok terkaya jika dibandingkan dengan oleh kelompok masyarakat lainnya,
atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak inklusif. Ketimpangan
layaknya api dalam sekam, tidak terlihat secara kasatmata, tetapi tanpa solusi
nyata, api ini akan dapat meluluhlantakkan bangunan Indonesia.
Berbagai studi menunjukkan
ketimpangan merupakan katalis dari kecemburuan sosial masyarakat, konflik sosial,
dan kegaduhan politik. Coudouel, Dani, dan Paternostro (2006) menyatakan
meskipun ketimpangan tidak sampai menimbulkan guncangan sosial dan politik,
ketimpangan akan menimbulkan resistensi masyarakat terhadap berbagai reformasi
kebijakan yang dilakukan pemerintah. Sejarah juga mencatat, tanpa menafikan
faktor lainnya, kerusuhan sosial 1998 juga diawali dari kenaikan indeks Gini
yang cukup tajam dari 0,292 (1990) menjadi 0,36 (1996).
Meningkatnya kesejahteraan
masyarakat yang tidak merata telah mengubah persepsi masyarakat mengenai apa
itu kemiskinan. Kemiskinan tidak lagi dipandang sebagai kekurangan sandang,
pangan, dan papan, tetapi kemiskinan bersifat relatif terhadap kepemilikan
orang lain. Dartanto dan Otsubo (2013) menunjukkan orang akan merasa miskin
jika orang lain memiliki lebih banyak jika dibandingkan dengan dirinya.
Perubahan persepsi kemiskinan, peningkatan ketimpangan, rendahnya literasi
membaca serta meningkatnya angka pengangguran usia muda ditengarai sebagai
faktor meningkatnya kegaduhan di media sosial serta perilaku intoleransi di
Indonesia yang pada akhirnya dapat mengancam rajutan kebangsaan Indonesia.
Solusi ketimpangan
Bahaya ketimpangan telah
mengancam di depan mata. Perlu upaya dan kebijakan nyata untuk
menanggulanginya. Secara konseptual, pengurangan ketimpangan dapat dilakukan
melalui tiga cara: 1) melakukan distribusi kekayaan dari kelompok atas ke
kelompok bawah, 2) mendorong perkembangan kelas menengah (kelompok 40%-80%)
karena indeks Gini sangat sensitif terhadap perubahan di kelas menengah, 3)
pertumbuhan inklusif dengan kelompok masyarakat bawah harus tumbuh lebih cepat
jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat atas.
Berbeda dengan kebijakan
pengentasan rakyat dari kemiskinan, kebijakan pengurangan ketimpangan akan
penuh kontroversi dan penolakan masyarakat khususnya kelompok kelas menengah
atas. Distribusi kekayaan dari kelompok atas akan penuh kontroversi karena
dengan kekuatan sumber daya mereka, mereka mampu memengaruhi politisi untuk
menghambat setiap kebijakan yang ada. Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan
ketimpangan harus lebih kreatif, inovatif, dan komprehensif sehingga akan
mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat.
Kerangka konseptual kebijakan di
atas dapat diterjemahkan menjadi lima kebijakan utama yang dapat dilakukan
pemerintah untuk menurunkan ketimpangan di Indonesia, antara lain, pertama,
peningkatan tax ratio dan kepatuhan pembayaran pajak. Rasio perpajakan di
Indonesia termasuk yang paling rendah di kawasan ASEAN sehingga pemerintah tidak
banyak memiliki ruang fiskal untuk membiayai pembangunan.
Peningkatan rasio pajak merupakan
cara untuk mendistribusikan kekayaan dari kelompok atas untuk kelompok di
bawahnya. Kenaikan rasio pajak berarti meningkatkan transfer dari kelompok
kayak ke kelompok miskin. Selain itu, kebijakan perpajakan seperti tax amnesty
akan berdampak terhadap ketimpangan sangat tergantung seberapa besar tebusan
yang dibayarkan serta bagaimana memanfaatkan informasi perpajakan dalam tax
amnesty untuk meningkatkan rasio pajak.
Kedua, kebijakan perpajakan
merupakan cara konvensional untuk melakukan redistribusi kekayaan kelompok
atas, kebijakan pajak sangat progresif akan mendorong penggelapan dan
penghindaran pajak dari kelompok atas. Oleh karena itu, sistem redistribusi
dapat dilakukan dengan mendorong adanya personal social responsibility (PSC)
dengan kelompok kaya didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan filantrofi
untuk membantu menyelesaikan permasalahan di masyarakat.
Saat ini, kegiatan filantrofi
menjadi sebuah tren tersendiri di kalangan kelompok kaya. Pemerintah dapat
memberikan insentif perpajakan (pemotongan pajak, bukan pengurangan pajak)
untuk kegiatan PSC ini. Secara alami, kelompok kaya akan lebih senang
menyalurkan kekayaan mereka melalui filantrofi jika dibandingkan dengan untuk
membayar pajak. Kegiatan filantrofi dapat diarahkan pada kegiatan pendidikan,
kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Ketiga, keterpaduan antara
pengembangan sumber daya manusia dan peta jalan transformasi perekonomian.
[Dartanto et al (forthcoming)] menunjukkan transformasi struktural dari sektor
pertanian menuju sektor industri dan jasa yang tidak terarah merupakan salah
satu penyebab ketimpangan di Indonesia. Perkembangan sektor jasa yang meningkat
selama 20 tahun terakhir tidak dibarengi peningkatan keterampilan sumber daya
manusia yang mendukung perkembangan sektor jasa. Atau dengan kata lain terjadi
skill mismatch antara lulusan dunia pendidikan dan kebutuhan dunia kerja.
Kondisi itu memunculkan adanya banyak pengangguran terdidik sehingga
perkembangan perekonomian tidak berdampak bagi penciptaan lapangan kerja.
Keempat, pemberantasan korupsi
dan perbaikan tata kelola pemerintahan. Korupsi yang pastinya dilakukan
kelompok atas (berkuasa) merupakan salah satu bentuk regressif transfer dengan
sumber daya mengalir dari kelompok bawah menuju ke kelompok atas, sebagai
contohnya, korupsi dana bantuan sosial untuk masyarakat miskin. Dartanto et al
(2016) menunjukkan pemberantasan korupsi dapat mengurangi ketimpangan di
Indonesia karena mampu menghentikan transfer sumber daya dari kelompok miskin
ke kelompok kaya.
Kelima, perlindungan sosial bagi
kelompok miskin dan rentan miskin melalui kebijakan kesehatan, pangan,
pendidikan dan perumahan. Kebijakan itu bertujuan memberikan jaring pengaman
kepada kelompok miskin dan hampir miskin sehingga mereka bisa bekerja dan
berusaha lebih baik. Meskipun begitu, keinginan berbagai pihak terkait dengan
kebijakan perlindungan sosial seperti pembiayaan program Jaminan Kesehatan
Nasional melalui tax funded (tanpa kontribusi) untuk seluruh masyarakat harus
dipikirkan secara hati-hati karena terkait dengan kesinambungan fiskal di masa
yang akan datang.
Di sisi lain, pemerintah juga
harus hati-hati dalam melakukan kebijakan penanggulangan ketimpangan karena
berbagai kebijakan bisa jadi saling kontradiksi dengan kebijakan yang lain, yang
pada akhirnya kebijakan tersebut tidak efektif untuk menanggulangi ketimpangan.
Salah satu contohnya ialah kebijakan pembangunan infrastruktur besar-besaran
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi akan dapat meningkatkan ketimpangan
perekonomian.
Manfaat ekonomi pembangunan
infrastruktur skala besar akan lebih banyak dirasakan perusahaan besar yang
bersifat capital intensive. Karena itu, perlu adanya sinkronisasi antara proyek
infrastruktur skala nasional dan proyek infrastruktur lokal. Kita patut memberikan
apresiasi terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Jokowi yang
sedikit banyak telah menurunkan indeks Gini, tetapi tren penurunan itu sangat
jauh seperti yang diharapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN). Tidak ada cara instan dan keajaiban semalam untuk menurunkan angka
ketimpangan, dibutuhkan kerja keras, cerdas, dan terus-menerus untuk menurunkan
angka ketimpangan.
0 comments:
Posting Komentar