Jodhi Yudono | Minggu, 10 April 2011 | 16:29 WIB
Ulat bulu.
Rupanya ia mengikuti sedemikian rupa berita-berita di media massa soal ulat bulu itu.
Mulanya diberitakan ulat-ulat bulu itu berbiak dan menyerbu beberapa kawasan di Probolinggo dan Jombang Jawa Timur. Ulat-ulat itu merengsek pohon-pohon mangga dan menyebar sedemikian rupa ke mana-mana.
Bagi istri saya, berita ulat bulu itu lebih berbahaya ketimbang kebocoran reaktor nuklir di PLTN Fukushima, Jepang. Istri saya tidak saja dibuat merinding oleh ulat bulu, tapi juga diserang fobia dan merasa terteror.
Membayangkannya saja sudah merinding, apalagi melihat dari televisi ribuan ulat bulu di tetanaman dan tembok-tembok warga di Probolinggo itu. Istri saya langsung menjerit dan sepertinya sebentar lagi terjangkiti gatal-gatal di seluruh badan.
Saya sendiri merinding kalau ketemu ulat. Sewaktu kecil, di surat kabar langganan bapak saya, Suara Merdeka terbitan Semarang, ada komik strip Tarzan karya Edgar Rice Burroughs yang saya sangat suka. Saking sukanya, saya mau jadi Tarzan.
Hanya mengenakan celana kolor dan pisau mainan, bersama temen-teman sebaya, kami main tarzan-tarzanan di sawah, kebun, kuburan, lereng bukit, sungai, bahkan kolam ikan yang airnya berlumpur. Maklum, kami hidup di desa.
Tapi persoalannya saya segera gagal menjadi Tarzan sejati karena takut sama ulat. Bagaimana mau jadi Tarzan beneran (kalau pelawak Srimulat kami panggil Taresan) jika sama ulat saja ngibrit?
Lama-lama Tarzan agak saya lupakan. Kemudian tertarik kepada Batman, pemberantas kejahatan yang gambarnya saya lihat di poster film yang dibentangkan di mobil keliling pewarta pemutaran film itu ke desa-desa.
Lalu, saya ingin jadi Batman atau Superman, seperti dibayangkan penyanyi cilik Adi Bing Slamet dalam satu lagunya. Anda ingat bait lagunya? Saya sih ingat, begini, "Aku ingin menjadi Batman Superman, Batman Superman, ooo, gagah perkasa!
Dengan sarung yang diikatkan ke leher dan kain mendominasi punggung, jadilah saya Batman. Tapi, lama-lama saya juga merasa gagal menjadi Batman. Soalnya saya tak bisa terbang. Namanya juga anak-anak, proses identifikasi diri terus terjadi.
Ternyata tak hanya Tarzan dan Batman yang jagoan, masih banyak yang lain; Flash Gordon, Johny Quest, Deni Manusia Ikan, Sinbad Si Pelaut, Jaka Sembung, Si Buta dari Gua Hantu, Mario Halley, dan sebagainya. Belum lagi para ksatria yang di-jelentereh-kan dalam komik-komik wayang.
Lama-lama saya tak lagi mempersoalkan saya harus mengidentifikasikan diri sebagai apa, kecuali sebagai saya apa adanya.
Pada masa remaja, ketertarikan pada lawan jenis pun muncul. Mulailah saya mempersoalkan potongan rambut, jerawat, dan sebagainya.
Paradigma "saya adalah saya" sudah melekat sejak saya menonton film-film remaja di zaman itu, seperti Gejolak Kawula Muda atau Catatan Si Boy.
Saya merasa semakin jauh dari karakter sang tokoh; remaja penari breakdance atau Si Boy yang kontroversial. Saya merasa apa yang saya tonton adalah dunia lain, dunia yang tidak mungkin saya menjangkaunya.
Walaupun begitu, budaya pop tetap saya ikuti, sampai saya baca berita Menteri Penerangan Harmoko mengkritik Betharia Sonata karena menyanyikan lagu-lagu cengeng.
Dalam sebuah diskusi belum lama ini, berposisi sebagai moderator, saya mengomentari ringan uraian wartawan senior Budiarto Shambazy yang menjadi salah satu pembicara di diskusi itu.
Dalam seminar bertajuk penataan sistem politik itu, Mas Budiarto mengajak kita meneropong politik Indonesia dari atas. Dia mengistilahkannya dengan "helikopter politik."
Lantas ia sampai pada fenomena Wikileaks dan pemberitaan yang menghebohkan oleh dua surat kabar besar di Australia menyangkut Presiden SBY dan beberapa elite politik kita belum lama ini.
Mas Budiarto mengartikan. itu adalah peringatan Barat atas praktik demokrasi Indonesia dan rezim politik negeri ini.
Mereka seperti menjawil kita : eh hati-hati ya, kalau kamu begini terus!
Tentu saja, ada di antara Anda yang menolak penafsiran itu. Anda mungkin memandang kehebohan Wikileaks itu kebetulan saja, dan tak ada kaitannya dengan Barat. Lagi pula apa urusannya kita dengan Barat.
Itu bisa diperdebatkan lebih lanjut, yang jelas fenomenanya memang menghebohkan. Mas Budiarto menafsirkannya peringatan, tapi saya katakan padanya ada peringatan lain yang tak kalah menghebohkan. Serbuan ulat bulu itu!
Dengan gaya sok metafisik, saya kemukakan pertanyaan, mengapa ulat bulu itu didatangkan ke Indonesia? Jawabnya, fenomena alam alias anomali cuaca. Mengapa sampai anomali cuaca? Karena ini dan itu. Mengapa hanya tempat-tempat tertentu saja ulat bulu itu merambah? Mengapa bukan Jakarta?
Singkat kata, kehadiran ulat bulu itu, peringatan langsung Tuhan kepada kita. Semacam karikatur yang digambar langsung oleh Tuhan. Bagaimana mungkin bangsa ini maju, manakala perwatakan manusianya banyak yang berhenti sekadar di fase ulat dan tidak kunjung menjadi kepompong, apalagi kupu-kupu?
Dalam ikonografi fabel-fabel tertentu, ulat menggambarkan watak yang rakus, menjijikan, dan membuat sengsara yang lain dengan bulu-bulunya.
Ia melahap yang mengenyangkan perutnya. Tetapi serakus-rakusnya ulat, tetap masih lebih rakus manusia. Manusia tak hanya menyantap makanan yang masuk ke perutnya, tapi juga aspal, semen, pasir, apa pun.
Ulat tak bisa membenarkan tindakan-tindakannya. Manusia tidak. Manusia sibuk mencari-cari pembenaran atas kerakusannya, terutama kerakusan kekuasaan.
Saya ungkapkan yang begitu itu, supaya diskusi jadi marak dan gayeng, bukannya demi sekadar mengkritik pemerintah atau para politisi, sebab jangan-jangan kita-kita malah ulat-ulat bulunya.
Mungkin kita suka rakus demikian rupa, melampaui batas, dan berencana suatu saat akan bertobat, tapi tak tobat-tobat juga. Kalaupun bertobat, hanya formalitas dan artifisial, dalam arti akan segera mengulanginya lagi suatu saat nanti.
Betapa banyak perlambang yang hadir di dunia ini. Manusia sendiri, sejak zaman purba, butuh perlambang dan mitos-mitos. Tapi, kemudian datang ilmu pengetahuan yang lebih bertumpu pada tradisi ilmiah dan rasionalitas.
Supaya tulisan ini tidak menyesatkan, baiklah saya kutipkan penjelasan ilmiah seorang pakar dari UGM, "Perubahan iklim terutama temperatur lingkungan ikut mempengaruhi populasi ulat bulu, karena temperatur yang meningkat dapat mempercepat siklus hidup ulat itu. Meningkatnya populasi ulat bulu juga disebabkan semakin berkurangnya musuh alami, seperti burung, parasitoid, dan predator lain.
Terdapat dua spesies ulat bulu yang menyerang daun mangga di Probolinggo, yakni Arctornis sp dan Lymantria Atemeles Collenette. Ulat bulu itu bersifat nokturnal, aktif pada malam hari. Tidak mengherankan jika pada malam sering terdengar seperti suara hujan, padahal saat itu sesungguhnya ulat bulu sedang memakan daun mangga.
Oleh karena itu, harus ada langkah untuk segera mengendalikan membeludaknya populasi ulat. Terlebih kemampuan produksi telur ulat betina mencapai 70-300 butir per ulat.
Jadi, urusan kita bertambah lagi hari-hari ini; menghadapi ulat-ulat bulu itu. O, kalau saja novelis John Steinbeck mencerap fenomena perulatbuluan ini, mungkin ia tidak akan menulis Of Mice and Men (1937), tetapi Of Ulat Bulu and Man. ----
M Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta.
Sumber http://oase.kompas.com/read/2011/04/10/16290622/Jangan-jangan.Kita.Ulat.Bulu
0 comments:
Posting Komentar