Senin, 18 April 2011

Norma, Normal, Norman

Okezone, Minggu, 17 April 2011 - 10:52 wib

"Ch a i ya…ch a i ya….” Itulah lagu yang terdengar tiap hari, setiap saat, setiap kali kita nyetel televisi selama 2-3 pekan terakhir ini.
Anggota Brimob Briptu Norman Kamaru secara tidak sengaja jadi ngetop gara-gara iseng-iseng merekam dirinya sendiri sedang mencocokkan bibir dengan lagu (lip-sinc) ini sambil bergoyang India kocak dan tahu-tahu (di luar pengetahuan Norman) rekaman itu sudah beredar di Youtube. Dilihat dari sudut norma disiplin kepolisian, apalagi disiplin Brimob, kelakuan Norman tidak normal. Normalnya, kalau sedang jaga di pos, anggota harus siap siaga, waspada terhadap segala kemungkinan bahaya. Bukannya malah joget-joget.

Karena itulah Norman kena hukuman (tetapi teman jaga di sebelahnya yang asyik ber-SMS juga sebetulnya tidak normal, tetapi tidak kena hukuman, sehingga mungkin komandan merekalah yang tidak mengerti atau tidak menjalankan norma dengan konsisten). Dilihat dari teori statistika, Briptu Norman juga tidak normal (abnormal), karena menurut norma ilmu statistika, yang disebut tidak normal adalah kejadian yang jarang muncul. Makin jarang muncul, makin abnormal. Orang cacat mental (terbelakang) dan orang genius, misalnya, sama-sama abnormal, karena sama-sama jarang didapati di tengah kebanyakan orang yang IQ-nya biasa-biasa saja.

Padahal, polisi yang bisa bernyanyi Chaiya Chaiya bukan saja langka, tapi terlalu amat langka sekali. Jelasnya hanya satu di antara 400.000 lebih anggota Polri. Tetapi dalam statistika, abnormalitas tidak otomatis berarti negatif. Si genius Einstein, para pemenang Nobel, Mozart dan Strauss, dan Bung Karno adalah manusia-manusia langka yang telah mengubah dunia ke arah yang lebih positif. Begitu juga Norman Kamaru. Dilihat dari sudut norma dan selera seni publik Indonesia, kelangkaan Norman justru positif. Karena itu protes bermunculan ketika masyarakat tahu bahwa Norman dihukum oleh atasannya. Begitu hebatnya protes publik sehingga pemimpin Polri justru mendorong Norman untuk melayani keinginan publik.

Norman dibawa dari Gorontalo ke Jakarta, dimunculkan di berbagai stasiun televisi, membuat rekaman, dibawa ke Bali, berkonferensi pers didampingi oleh polisi-polisi berbintang, bahkan bernyanyi dan berjoget bersama para jenderal dan seterusnya. Maka publik pun senang, menikmati gerak-gerik tari India Norman ketika melantunkan lagu Chaiya Chaiya (apa benar judulnya begitu, ya?) dengan suaranya sendiri yang memang sekelas Indonesian Idol. Apalagi Norman selalu berseragam Brimob lengkap dan posturnya yang memang tinggi tegap (standar fisik Brimob) dan wajahnya pun macho, lumayan banyak cewek yang termehek-mehek. Kesimpulannya, kelakuan Norman bisa normal atau abnormal, tergantung pada norma mana yang dipakai.***

Hari Senin awal pekan lalu saya diminta untuk menjadi saksi ahli dalam sidang pengadilan Abu Bakar Baasyir (ABB). Sesuai keahlian saya sebagai psikolog, khususnya psikolog sosial, saya ditanya oleh jaksa dan hakim apakah pelatihan militer oleh sejumlah orang tak dikenal di Aceh menimbulkan dampak teror atau tidak? Jawaban saya ”ya” karena pelatihan itu menimbulkan ketakutan pada masyarakat lokal (mikro) maupun masyarakat luas (makro) yang mengetahuinya melalui media massa. Jawaban saya tentu saja merujuk pada norma ilmiah karena memang saya dipanggil sebagai ilmuwan, bukan sebagai pakar lain, apalagi agama.

Salah satu definisi terorisme yang saya rujuk adalah sebagaimana yang ditulis dalam Wikipedia, ”Common definitions of terrorism refer only to those violent acts which are intended to create fear (terror), are perpetrated for a religious, political or ideological goal, deliberately target or disregard the safety of non-combatants (civilians), and are committed by nongovernment agencies”. Definisi tentang terorisme yang paling umum adalah perilaku kekerasan yang diniatkan untuk menciptakan ketakutan (teror), dilandasi oleh tujuan agama, politik atau ideologi, sengaja diarahkan kepada atau mengabaikan keselamatan nonpetempur (orang sipil), dan dilaksanakan oleh pihak-pihak yang bukan pemerintah.

Sayangnya, tim pembela dan ABB sendiri walk out setiap kali sidang menghadirkan saksi ahli (termasuk saya). Belakangan saya tahu dari radio dan media cetak bahwa beliau menyatakan saya tidak pas untuk menjadi saksi ahli, karena pandangan saya hanya didasarkan pada ilmu, bukan pada agama. Tim pembela bahkan menyatakan saya keliru dari norma psikologi, karena saya tidak pernah mewawancarai ABB. Padahal, yang ditanyakan kepada saya adalah dampak teror dari pelatihan Aceh. Bukan dan tidak ada sama sekali pertanyaan yang menyangkut pribadi ABB (kalau ini yang ditanyakan, memang harus berdasarkan pemeriksaan psikologis terhadap ABB).

Tetapi jelas, argumentasi ABB dan tim pembela berdasarkan norma agama, sementara jawaban saya berdasarkan norma ilmu pengetahuan, khususnya psikologi sosial.Perbedaan norma ini jelas tidak matching, karena apa yang dianggap normal dalam norma agama (pelatihan adalah i’dad yang sah), dianggap abnormal dalam ilmu psikologi (menimbulkan ketakutan). Maka yang terbaik adalah bila ABB dan tim pembela tetap hadir di ruang sidang sehingga bisa dilakukan dialog, saling mengajukan argumen (alasan), dan biarkan hakim membuat keputusan. Tanpa kehadiran tim pembela, hakim hanya mendengarkan dan mempertimbangkan jawaban saya atas pertanyaan jaksa (yang tentunya memberatkan).***

Bahwa dalam kehidupan banyak sekali norma yang saling tidak sesuai adalah realita. Seorang remaja putri dimarahi mamanya karena pulang dini hari. Kata mamanya, ”Zaman mama SMA, paling malam jam 21.00 mama harus sudah di rumah lagi.” Anaknya pun langsung menjawab, ”Itu kan dulu, Mah (pendek dari ‘mama’). Zaman sekarang, jam sembilan mah (bahasa Sunda) belum ada siapa-siapa.” Dalam kasus Bank Century, DPR voting, dan dinyatakan ada abnormalitas pada pihak pemerintah (norma politik). Sri Mulyani hengkang ke Bank Dunia. Tetapi sampai hari ini KPK dan Polri belum menemukan bukti kesalahan pemerintah (norma hukum). Di Bali, jangan coba-coba menerapkan UU Antipornografi dengan kaku, bisa-bisa Provinsi Bali keluar dari NKRI.

Di beberapa daerah di Indonesia, jangan gegabah menerapkan UU Perkawinan, karena beberapa suku tertentu di Indonesia justru mengharuskan hubungan seks pranikah sebelum perkawinan. Demikian seterusnya. Normal-abnormal, abnormal-normal, tergantung norma mana yang dipakai. Ketika ada pertentangan norma, maka harus ada kesepakatan (demokrasi), atau keputusan (otoriter) norma mana yang dianut. Dalam sidang ABB, hakimlah yang menentukan (otoriter, sesuai dengan kewenangan menurut undang-undang), sedangkan dalam kasus Norman, publiklah (demokrasi) yang menentukan bahwa Norman adalah normal (pimpinan Polri pun mengalah). Bagaimana dengan NKRI?

Memang terlalu banyak norma (Bhinneka) di negeri ini, tetapi harus ada yang memutuskan satu norma untuk dianut bersama (Tunggal Ika), supaya seluruh bangsa ini bisa bersatu padu, seperti ketika semua bernyanyi dan bergoyang, ”Chaiya...chaiya...”.

SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi UI

Sumber http://suar.okezone.com/read/2011/04/17/58/446884/norma-normal-norman

0 comments:

Posting Komentar