Senin, 25 April 2011

Geger Bieber dan Krisis Keuangan

Oleh Iman Sugema
Justin Bieber pada malam Ahad yang lalu memang bikin geger. Puluhan ribu orang menyemut menuju Sentul dan rata-rata berkendaraan mobil pribadi. Kontan jalan tol Jagorawi menjadi macet parah. Anak-anak remaja histeris menyambut setiap lenggok sang superbintang. Mengapa anak kecil dari Kanada ini bisa bikin

Memahami geger Bieber dalam konteks liberalisasi dapat membantu kita memahami mengapa krisis ekonomi lebih sering terjadi setelah dilakukannya liberalisasi keuangan.  Lho, kok bisa? Begini ceritanya.

Bieber adalah salah satu artis yang meroket melalui Youtube. Melalui fasilitas yang sama, kini Udin sedunia dan Briptu Norman mendadak jadi selebritas. Sebuah tampilan video hanya beredar secara terbatas kalau disimpan dalam bentuk CD atau kaset. Melalui internet, pengunduhan video bisa mencapai jutaan kali. 

Itu merupakan buah dari liberalisasi internet dalam arti yang paling nyata. Di dunia maya, Anda bisa berselancar tanpa batas negara, warna kulit, kelas sosial, agama, ideologi, usia, ataupun seks. Mungkin satu-satunya yang menjadi penghambat adalah bahasa. Kemungkinan Anda akan kesasar ketika mencoba berselancar di situs yang berbahasa Jepang lengkap dengan kanji. Tapi, untuk urusan musik dan lagu, barier bahasa bisa hilang dengan sendirinya. Itulah yang menerangkan mengapa Briptu Norman bisa menyukai lagu India tanpa harus mengerti betul apa arti sesungguhnya dari lagu yang didendangkan. Kalau Anda suka lagu tersebut, cukup goyangkan pinggul, tangan, kepala, dan lalu syur dengan sendirinya. Musik dan lagu adalah bahasa universal.

Esensi dari liberalisasi adalah hilangnya batas antara diri kita sendiri dan bagian dunia lainnya. Internet secara nyata telah menghilangkan batas-batas itu. Satu implikasi penting dari hilangnya batas adalah percepatan atau amplifikasi dari proses penggandaan. Batasnya hanyalah diri Anda sendiri. Kalau tidak suka, Anda tak dipaksa untuk berselancar. Itulah sejatinya liberalisasi.

Sebagai dampaknya, penggemar Bieber hampir tak mengenal batasan negara, agama, atau faktor lainnya. Pembatasnya hanyalah apakah Anda suka Bieber atau tidak. Anda tak pernah ditanya alasannya. Tak ayal, kini follower di akun Twitter-nya telah mencapai 9 juta orang atau hanya sedikit di bawah Lady Gaga dan Presiden Obama.

Liberalisasi keuangan memiliki cerita yang kurang lebih sama dengan liberalisasi sistem informasi ala internet. Krisis keuangan cenderung terjadi lebih sering dan lebih besar setelah dilakukannya liberalisasi pasar finansial. Liberalisasi selalu berbuah pada amplifikasi krisis sampai pada tingkat yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya.  Contoh yang paling mutakhir adalah tsunami keuangan dunia yang dipicu oleh krisis sub-prime mortgage di Amerika Serikat.

Liberalisasi pasar keuangan pada esensinya adalah hilangnya batas-batas negara, bahasa, agama, ras, dan aturan main. Yang berlaku hanyalah satu bahasa, yakni profit. Tentu, modal selalu mencari tempat dan instrumen yang memberikan keuntungan yang tertinggi.  Hukum alam pun kemudian berlaku high return, high risk. Amplifikasi keuntungan akan selalu disertai dengan amplifikasi risiko.

Atas nama keuntungan maksimum, kertas sekuritas berisiko tinggi menyebar ke hampir seluruh dunia melalui fund manager dan broker skala internasional. Berbagai produk derivatif diterbitkan untuk menyembunyikan risiko yang terkandung di dalamnya. Racun dibungkus dengan madu. Sumber racunnya jelas, yakni KPR berkualitas rendah atau sub-prime mortgage. Hanya saja, dalam setiap sekuritas derivatif sudah tak jelas lagi kandungan toxic yang sebenarnya. Proses derivasi yang berantai telah menyembunyikan risiko yang sebenarnya.

Tapi, para originator toxic securities tak bisa disalahkan sepenuhnya. Dalam era liberalisasi, pemilik uang tak pernah dipaksa untuk membeli sekuritas jenis apa pun.  Hanya satu bahasa yang berlaku, kalau menyukai return yang tinggi, Anda harus bersedia menanggung risikonya. Keuntungan biasanya merefleksikan secara tidak langsung kadar toxic yang terkandung. Artinya, yang membedakan pilihan seorang investor dibanding portofolio investor lainnya adalah batasan profil investasi yang dibuat oleh si investor itu sendiri. Investor bebas berselancar dalam lautan investasi tanpa batas. Esensinya sama dengan ketika Anda tak pernah dipaksa untuk menyukai Bieber atau Udin. Anda sendiri yang menentukan batasan suka atau tidak suka.

Kemudahan investasi tiada batas seperti ini, dengan sendirinya menimbulkan risiko terjadinya krisis yang juga lintas batas. Ketika proporsi KPR macet di Amerika mengalami peningkatan, kewajiban terhadap pemegang sekuritas dan derivatifnya di seluruh dunia juga serta-merta tak dapat ditunaikan. Maka, terjadilah gelombang kebangkrutan lembaga-lembaga keuangan di seluruh dunia. Karena sistem keuangan terganggu, sektor riil pun kemudian megap-megap. 

Tanpa liberalisasi, mestinya krisis sub-prime mortgage hanya akan menimbulkan kerugian di Amerika Serikat dengan dampak ke negara lain yang relatif tidak langsung.  Dengan liberalisasi, dampak krisis menjadi teramplifikasi sampai ke seluruh dunia. 

Bukankah amplifikasi krisis sama dengan geger Bieber? Tanpa internet, saya tak yakin Bieber bisa bikin macet Sentul dan Jagorawi. Baik atau buruknya dampak liberalisasi selalu sama, yaitu terjadinya amplifikasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.     

Karena itu, saya agak senang ketika IMF dalam laporannya yang diterbitkan bulan April ini menyarankan kepada negara-negara berkembang untuk menerapkan capital control.  Tujuannya adalah untuk meminimalisasi amplifikasi bila krisis keuangan suatu saat terulang kembali.
geger sebuah negeri yang jauh jaraknya seperti Indonesia? Jawabannya adalah liberalisasi dunia maya.
Sumber : http://koran.republika.co.id/koran/26

0 comments:

Posting Komentar