Selasa, 26 April 2011

Mencari Akar dan Solusi Terorisme

Prof Dr KH Said Aqiel Siradj
Ketua Umum PBNU
 
Terorisme terus menjadi momok yang menakutkan. Beberapa insiden belakangan seperti bom buku dan bom masjid membuktikan masih bercokolnya terorisme. Indonesia rupanya menjadi sasaran empuk dan killing field. Radikalisme tampaknya masih menjadi sumbu bagi erupsi tindakan perlawanan yang dalam bahasa Arab disebut syiddah al-tanatu', artinya, keras, eksklusif, berpikiran sempit, rigid, serta memonopoli kebenaran.

Radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, tetapi terus berupaya mengganti suatu tatanan dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia tersendiri.

Ada faktor begitu kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran ideologi yang mereka bawa. Sikap ini dibarengi dengan penafikan kebenaran sistem lain yang akan diganti dalam gerakan sosial, keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi sering dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti kerakyatan atau kemanusiaan.
 
Di tubuh radikalisme, Islam memang telah terfragmentasi dalam ragam bentuk, misalnya, dalam rupa radikal puritan yang berjihad untuk menghilangkan amalan-amalan yang bercampur tradisi lokal. Mereka sangat militan karena digelorakan oleh jihad mengembalikan Islam murni sesuai Alquran dan Sunnah. Ada pula radikalis dalam wujud berjihad mengislamkan segala sistem sekuler seperti demokrasi dan nasionalisme dengan cara menggantinya menjadi model-model yang dipandang Islami.

Di mata kelompok ini, konsep demokrasi dan nasionalisme divonis sebagai bentuk kekufuran berpikir karena mengingkari bentuk negara Islam yang dimandati Alquran dan hadis. Kedua bentuk ini memang tidak sampai pada tindakan kekerasan. Mereka masih bertindak konstitusional. Yang paling sadis adalah radikalisme Islam dalam bentuk terorisme karena menghalalkan kekerasan. Ironisnya, kelompok-kelompok ini bisa eksis mengampanyekan konsepnya justru dengan memanfaatkan ruang-ruang demokrasi yang dibuka lebar oleh rezim nasionalis-sekuler.

Ada sejumlah benang merah yang bisa ditarik dari fakta radikalisme Islam ini, yaitu pemahaman yang sangat literal terhadap ajaran Islam, keyakinan yang sangat kuat bahwa Islam adalah satu-satunya solusi bagi berbagai krisis, perjuangan menegakkan syariat Islam, resistensi terhadap kelompok yang berbeda pemahaman dan keyakinan, serta penolakan dan kebencian yang nyaris tanpa cadangan terhadap segala sesuatu yang berbau Barat.

Pengaruh keagamaan dan politik dari Timur Tengah ke Indonesia pun bisa menjadi pemicu eksternal. Semenjak Islam masuk ke nusantara, hubungan masyarakat Indonesia dengan Timur Tengah sangat kental. Transmisi ini dimungkinkan karena posisi Timur Tengah sebagai sentrum yang selalu menjadi rujukan umat Islam baik untuk berhaji, ziarah, maupun belajar. Dari aktivitas ini, lalu muncul berbagai bentuk jaringan, baik jaringan keulamaan, jaringan gerakan dakwah, maupun jaringan gerakan politik.

Berdasar teks, fakta radikalisme agama sesungguhnya telah dinujumankan oleh Nabi Muhammad. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, dikisahkan ketika Nabi membagi harta rampasan perang di daerah Thaif dan sekitarnya, tiba-tiba seorang sahabat yang bernama Dzul Khuwaishirah (Bani Tamim) melayangkan protes dengan mengatakan, "Bersikaplah adil wahai Muhammad!" Nabi kemudian menjawab, "Celaka kamu, tidak ada orang yang lebih adil dari aku. Karena apa yang aku lakukan berdasarkan petunjuk Allah."

Setelah Dzul Khuwaishirah pergi, Nabi bersabda, "Suatu saat nanti, akan muncul sekelompok kecil umatku yang membaca Alquran, namun tidak mendapatkan makna sejatinya. Mereka ini sejelek-jeleknya makhluk."

Hadis sahih ini terbukti seperempat abad kemudian. Pada tahun 35 H, Khalifah Usman terbunuh secara mengenaskan oleh sekelompok Islam ekstrem. Peristiwa ini terulang kembali pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib yang juga terbunuh oleh kalangan Islam ekstrem. Komunitas ekstrem tersebut sungguh pun pada mulanya bernuansa politis, tetapi perkembangan selanjutnya dirajut dalam sebuah ideologi yang dikenal dengan paham Khawarij.

Inilah apa yang disebut Alquran sebagai sikap dan perilaku yang melampaui batas. Ada tiga sikap yang dikategorikan melampaui batas. Pertama, ghuluw, bentuk ekspresi manusia yang berlebihan dalam merespons persoalan hingga mewujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran kemanusiaan. Kedua, tatharruf", sikap berlebihan karena dorongan emosional yang berimplikasi kepada empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat. Ketiga, irhab, sikap dan tindakan berlebihan, karena dorongan agama atau ideologi. Ini yang mengundang kekhawatiran karena bisa jadi membenarkan kekerasan atas nama agama.
 
Visi kebangsaan dan solusi

Visi kebangsaan kini seakan berantakan. Bagi kalangan pemeluk agama, masih saja ada "ganjalan" dalam menyikapi emosi keagamaannya dengan semangat kebangsaan. Buktinya, bagi sebagian umat beragama rentan dari gejolak amuk yang berpotensi memicu kekerasan atas nama agama. Apalagi, negeri kita saat ini tengah panen kemunculan kelompok-kelompok Islam yang mempertentangkan Islam dengan keindonesiaan. Tudingan-tudingan thaghut dan istilah sarkastis lainnya bisa menjadi api dalam sekam.

Gelombang radikalisme ini bisa mengganggu roh demokrasi dan kebinekaan NKRI. Terlebih jika negara tidak mampu menyejahterakan rakyatnya, ancaman terhadap eksistensi kebangsaan kita akan semakin menganga di tengah masyarakat luas yang dilanda gejala distrust.

Ada otokritik, bangsa Indonesia belum mampu menyegarkan kembali konsep nasionalisme yang sudah menjadi klasik. Di zaman yang semakin berubah, semestinya konsep nasionalisme perlu dikonversi dengan kondisi masyarakat yang terus berkembang. Konsep nasionalisme klasik jelas semakin kehilangan relevansinya, terutama ketika tantangan yang dihadapi sudah jauh berbeda dari kondisi prakemerdekaan.

Konsep nasionalisme harus membumi sesuai aspirasi masyarakat. Konsep tentang musuh harus diarahkan menjadi musuh yang lebih relevan dengan tuntutan kekinian, seperti korupsi, penindasan oleh kelompok sendiri, distribusi sumber-sumber ekonomi-politik yang tidak adil, pembodohan sistemik oleh segelintir elite atas rakyatnya, pengabaian hak-hak dasar setiap warga negara dan semacamnya. Inilah musuh bersama yang bersifat universal.

Terorisme mampu melakukan aksinya di Indonesia karena masih lemahnya payung hukum, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan suburnya tingkat kemiskinan ditambah dengan terbatasnya kualitas dan kapasitas intelijen negara. Kondisi tersebut merupakan pelajaran yang harus dipecahkan dan diselesaikan bersama antara penyelenggara negara, elite politik, dan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat.

Tandasnya, untuk menangani terorisme, diperlukan ketegasan dan keseriusan pemerintah. Ketidaktegasan pemerintah hanya akan memberikan ruang bagi teroris untuk beranak pinak. Membiarkan terorisme berkembang sama artinya sengaja membiarkan pelanggaran demi pelanggaran kemanusiaan terjadi di waktu-waktu mendatang. Pembiaran semacam ini dengan sendirinya merupakan pelanggaran hak secara pasif. Bahkan, bukan tidak mungkin, nalar masyarakat justru bertanya-tanya, apakah terorisme dengan sengaja justru dipelihara?

Sebagai kesatuan paham dan gerakan, radikalisme agama tidak mungkin dihadapi dengan tindakan dan kebijakan yang parsial, tapi dibutuhkan perencanaan kebijakan dan implementasi yang komprehensif dan terpadu. Problem radikalisme agama merentang dari hulu ke hilir.

Dari segi penyampaian dakwah, saatnya umat Islam mengedepankan qaulan karima (perkataan yang mulia), qaulan ma'rufa (perkataan yang baik), qaulan maisura (perkataan yang pantas), qaulan layyinan (perkataan yang lemah lembut), qaulan baligha (perkataan yang berbekas pada jiwa), dan qaulan tsaqila (perkataan yang berat). Ada kaidah fikih, umurul muslimin mahmulun 'ala al-sadadi wa al-shalah, dalam semua hal umat Islam harus senantiasa bersikap saling melengkapi dan berperilaku positif.

Walhasil, terorisme adalah public enemy yang membutuhkan keseriusan bersama dalam menanganinya, tanpa pamrih pada kepentingan politik yang parsial dan sekadar politik kekuasaan, tetapi pamrih pada politik kebangsaan dan kerakyatan.

0 comments:

Posting Komentar