Selasa, 26 April 2011

100 Tahun Sjafruddin Prawiranegara (28 Februari 1911-15 Februari 1989)

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Awal tahun 2011, telah dibentuk Panitia 100 Tahun SP (Sjafruddin Prawiranegara), diketuai oleh Dr AM Fatwa. Berbagai kegiatan telah diadakan untuk menggali dan menilai peran sentral tokoh ini untuk Indonesia. Dalam tubuhnya, mengalir darah campuran Banten dan Minangkabau. Di antara banyak tokoh Masyumi yang pernah berguru agama kepada HA Salim melalui JIB (Jong Islamieten Bond/Ikatan Pemuda Islam), SP termasuk perkecualian.

Sebutlah misalnya Natsir, Roem, Prawoto, Kasman, Joesoef Wibisono, dan banyak yang lain adalah kader intelektual dan spiritual Salim. SP tampaknya belajar agama secara mandiri, terutama melalui literatur asing, tetapi kekuatan iman dan wawasan keislamannya tidak kalah bila dibandingkan dengan para alumni JIB. Otaknya yang cerdas, pergaulannya yang luas, dan pengalaman birokrasi di bidang keuangan telah mengantarkan tokoh ini ke posisi-posisi penting dan strategis pascaproklamasi.

Ia pernah menduduki berbagai jabatan, seperti  menteri keuangan, menteri kemakmuran, gubernur BI, ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), dan pimpinan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berpusat di Sumatra Tengah. PRRI sama sekali bukan gerakan separatis sebagaimana yang dituduhkan oleh sementara pihak, melainkan gerakan korektif atas penyimpangan terhadap UUDS 1950 yang dilakukan oleh Presiden Soekarno. Sebagai gerakan korektif, perannya tentu positif, tetapi pertanyaannya adalah: apakah perlu membentuk pemerintah tandingan yang telah membawa banyak korban nyawa dan harta, khususnya di Sumatra Tengah (ketika itu meliputi Sumatra Barat, Riau, dan Jambi).
   
Pertanyaan berikutnya: apakah karena terlibat dalam PRRI, SP harus disingkirkan dari sejarah modern Indonesia seperti yang berlaku selama ini? Di mata saya, SP tidak mungkin berkhianat. Dia seorang nasionalis dan patriot sejati. Bukankah PRRI semula adalah gerakan militer daerah, kemudian pihak sipil bergabung ke dalamnya demi menjaga keutuhan bangsa dan negara? PRRI hanya bertahan sekitar empat tahun lalu dilumpuhkan oleh Jakarta dengan inti kekuatan Bung Karno dan AD (Angkatan Darat) pimpinan Jenderal A.H. Nasution yang memang tidak bisa ditandingi oleh kekuatan daerah.
   
Secara retrospektif, gerakan PRRI sesungguhnya mengandung tiga dimensi sekaligus: embrio bagi penegakan UUD secara murni dan konsekuen, pelaksanaan otonomi daerah, dan perlawanan terhadap komunisme. Dimensi pertama pernah digulirkan tahun 1966, tetapi sayang hanya sebatas semboyan. Dalam kenyataannya, UUD selalu saja diselewengkan, tidak dalam retorika politik, tetapi dalam praktik kenegaraan; yang kedua dan ketiga sekarang telah menjadi fakta sejarah sekalipun berjibun masalah yang diwariskannya yang sampai hari ini belum tuntas.
   
Kembali kepada sosok SP. PDRI yang hanya berkuasa selama 209 hari itu sungguh tak ternilai betapa besar artinya bagi kelangsungan Indonesia sebagai negara merdeka. Akan sulit kita bayangkan nasib Indonesia sekiranya PDRI tidak berhasil dalam misi penyelamatannya. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, Ali Sastroamidjojo, Roem, dan banyak yang lain, telah ditawan dan diasingkan Belanda pada Desember 1948.

Jenderal Soedirman dengan paru-paru satu bersama pasukannya melakukan perang gerilya di Jawa. Maka petanya adalah: PDRI bergerilya di Sumatra, Soedirman bergerilya di Jawa. Antara keduanya saling mendukung sekalipun komunikasi tidak mudah. Itulah sebabnya Soedirman keberatan dengan Pernyataan Roem-Van Royen pada bulan Mei 1949 karena tidak didukung oleh PDRI sebagai pemerintah yang sah, bukan pemerintah tawanan yang tidak punya mandat untuk berunding. Penolakan terhadap Pernyataan Roem-Van Royen ini dilakukan PDRI di suatu tempat di Silantai, Sumpur Kudus. Selama tiga minggu, kecamatan Sumpur Kudus telah dijadikan pusat PDRI. Yang terlama berada di Bidar Alam, Solok Selatan.
   
SP-tentu bersama tokoh-tokoh PDRI yang lain-bukan hanya sebagai penyelamat Indonesia merdeka yang sedang terancam, melainkan dia juga punya pendapat bahwa bunga bank konvensional bukanlah riba karena diatur oleh undang-undang. Dengan demikian, dalam transaksi perbankan, tidak berlaku apa yang disebut exploitation de l'homme par l'homme (pemerasan manusia oleh manusia). Dalam masalah ini, SP tidak berdiri sendiri. Bung Hatta, Kasman Singodimedjo, A. Hassan, Fazlur Rahman, dan sederetan pakar yang lain juga punya pendirian serupa. Oleh sebab itu, masalah krusial ini perlu dikaji secara hati-hati dan mendalam agar sikap saling menuduh dapat dihindarkan.
   
Terakhir, jika nanti berdasarkan penelitian sejarah yang objektif dan jujur sampai kepada kesimpulan bahwa SP patut diakui sebagai presiden Republik Indonesia kedua, saya akan mendaftarkan diri sebagai salah seorang pendukung terdepan. Jasa tokoh ini luar biasa bagi Indonesia, tidak mungkin dihapus untuk selama-lamanya!   
Sumber http://koran.republika.co.id/koran/28

0 comments:

Posting Komentar