New Delhi, beberapa waktu lalu. Dalam sebuah perbincangan ringan, seorang pejabat bercerita tentang bagaimana dulu ia berusaha meyakinkan mantan Presiden Soeharto agar bersedia dimintai keterangan—untuk tidak disebut ”diperiksa”—di Kejaksaaan Agung.
Sang pejabat bercerita, ia terus-menerus meyakinkan Soeharto bahwa dengan bersedia memberikan keterangan di Kejaksaan Agung, berarti mantan presiden itu memang pemimpin yang sangat menjunjung tinggi aturan hukum, yang taat kepada hukum. Akhirnya, Soeharto bersedia untuk memberikan keterangan.
Pengadilan terhadap Soeharto memang tidak berlangsung. Bahkan, akhir kisahnya pun tak jelas. Akan tetapi, apa yang pernah terjadi di Indonesia memberikan gambaran betapa tidak mudah menyelesaikan masalah menyangkut mantan orang nomor satu di negeri ini pada waktu itu. Apalagi kita mengenal falsafah mikul dhuwur mendem jero, yang kira-kira berarti menghormati pemimpin atau keluarga dengan mengenang jasanya dan menutupi keburukannya.
Yang pernah dialami Indonesia kini dialami Mesir dan Yaman. Bagaimana menyelesaikan ”masalah” mantan Presiden Hosni Mubarak (Mesir) dan Presiden Ali Abdullah Saleh (Yaman)?
Ada rasa kegamangan di hati orang Mesir untuk ”menyelesaikan” masalah Mubarak, demikian juga yang dialami oleh orang Yaman terhadap Saleh.
Memang tidak bisa dimungkiri oleh rakyat Mesir, selama Mubarak berkuasa (1981-2011), telah banyak yang dicapai oleh negerinya. Selama Saleh berkuasa (sebagai Presiden Yaman Utara, 1978-1990, dan Presiden Yaman mulai 22 Mei 1990), banyak pula yang sudah dicapai negeri itu.
Menimbang baik buruk perilaku
Namun, rakyat kedua negara juga tidak memungkiri selama mereka berkuasa—Mubarak di Mesir dan Saleh di Yaman—banyak pula hal yang tidak benar. Sebut saja, mulai dari penyalahgunaan kekuasaan dalam berbagai bentuk hingga korupsi. Lebih parah lagi para anggota keluarga mereka juga terlibat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu, sangat wajar kalau ada desakan agar Mubarak, misalnya, diadili dan Saleh juga demikian meski kini masih berkuasa.
Orang akhirnya menimbang antara keberhasilan dan kegagalan. Berapa porsi masing-masing meski sulit diukur. Yang lebih menonjol biasanya kesalahan dan kealpaannya. Apalagi lalu ditambahi dengan ingatan akan hal yang menyangkut penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang sangat dirasakan oleh rakyatnya.
Di Mesir, seperti ditulis Michael Slackman (International Herald Tribune, 22/4), muncul perdebatan cara mana yang akan digunakan untuk menyelesaikan ”masalah” Mubarak. Ada dua pilihan yang dibahas: cara Afrika Selatan dan Eropa Timur. Afrika Selatan menyelesaikan masa lalu dengan rekonsiliasi nasional, sementara Eropa Timur, misalnya Romania, menyelesaikan masa lalu dengan menghabisi pemimpinnya: Nicolae Ceausescu ditembak mati bersama dengan istrinya.
Sementara itu, di Yaman belum ketemu formulanya, bagaimana mengakhiri masa kekuasaan Ali Abdullah Saleh. Memang, Saleh telah menawarkan formula: ia mengundurkan diri, tetapi dengan catatan dia dan keluarganya tidak akan diadili. Adilkah itu?
Kita hanya mencatat, seorang pejabat yang turun dari jabatannya in disgrace, disertai permasalahan yang membuatnya tidak mulus atau tidak terhormat, akan surut dan lenyaplah pula keperkasaan dan kekuasaannya itu.
Bagaimana nantinya nasib pemimpin Libya, Moammar Khadafy? (trias kuncahyono)
0 comments:
Posting Komentar